Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cerpen) Salah Gaul

1 September 2016   20:50 Diperbarui: 1 September 2016   21:45 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar https://www.pinterest.com/pin/482940760013438433/

Sore selalu membawa cerita yang berbeda, bahkan bagi saya yang lima puluh tahun lebih. Ini soal perasaan saja, rasa yang sudah belasan tahun hilang. Tiba-tiba kesenangan itu seperti kembali menyala. Ada belitan suka, ada tebaran tawa-ria, juga gairah menikmati hidup. Penyebabnya sederhana, saya kembali punya banyak teman baru dengan aneka karakternya.

Kadang jadi heran sendiri, kemana saja selama ini saya telah menenggelamkan diri? Dalam perkara apa sehingga saya nyaris melupakan makna bersenang-senang. Seperti dulu ketika lulus sekolah menengah, atau pada awal-awal masa kuliah. Berwisata ke tempat-tempat indah, makan-minum di rumah makan pilihan, bermain kemana saja bersama teman-teman. Tentu juga cari kenalan cowok ganteng, apalagi yang banyak uang dan suka royal. Ah, kesadaran itu datang lagi kini meski sudah begitu terlambat. Namun bukankah masih beruntung dapat diingatkan kembali?

Itulah yang saya dapatkan kembali ketika beberapa lama menggunakan alat radio komunikasi. Oleh teman-teman baru setelah itu saya bahkan diperkenalkan pada internet melalui smarphone. Aku hanya mau coba-coba saja, iseng-iseng, memanfaatkan perangkat kerja suami itu yang sesekali saja dipakainya. Eh, lama-lama keterusan karena menemukan keasyikannya. Dari hanya kenal beberapa orang, kini sudah puluhan ibu rumah tangga saling kenal. Ada janda, para gadis, bahkan transgender yang bergabung dalam paguyuban yang penuh kekerabatan dan sarat kesenangan.

Begitu siang lingsir menjelang sore, hingga malam larut, kami para anggota peguyuban sudah bersiap habis-habisan mengumpulkan bahan obrolan, lawakan, bahkan sekadar teka-teki lucu. Jaringan dengan sarana frekuensi  itu tanpa sadar telah banyak mengubah gaya hidup kami.

Hingga suatu petang, Hasni, anak sulung saya mengajak semua anggota keluarga berkumpul di ruang tamu. Ini tidak biasanya, dan sangat mendadak. Agak aneh, dan mencurigakan sekali. Saya, suami, serta empat orang anak-anak termasuk Hasni sendiri, duduk takzim di ruang tengah. Seperti menghadapi sidang pengadilan yang sangat penting. Sepuluh tahun terakhir anak-anak sudah berumah-tangga, dan memiliki rumah sendiri di kota lain.

Hasni –nama lengkapnya Trihasni Rismayani- sebagai pemrakarsa acara langsung membuka pertemuan, runtut, fasih dan tampak sangat dipersiapkan. Sampai kemudian tiba pada sebuah ungkapan sangat serius, satu kalimat yang tak mungkin dapat saya lupakan pada sisa umur saya. Hasni memegang pundak saya sambil berkata tegas : “Mami telah salah bergaul!”

Ada rasa kaget, masgul, dan terpesona jadi satu. Bukankah pernyataan seperti itu yang dulu selalu saya ingatkan untuk anak-anak, untuk para keponakan, bahkan untuk suami tercinta. “Pandai-pandailah mencari teman. Jangan salah bergaul! Camkan ini, atau hidupmu bakal rusak karenanya!”

Kenapa kini ganti si bungsu yang dengan keras menuding saya dengan kata-kata serupa? Hati dan perasaanku terasa lumpuh!

 ***

Salah bergaul . . . . ., ah! Betapa memalukan sebutan demikian. Kalau saja kalimat itu ditujukan kepada anak-anak atau remaja, pantaslah. Ini kepada orangtua sendiri. Apakah saya sudah berlaku salah dalam mencari teman, salah dalam melakukan kegiatan, salah didik, dan salah kaprah. Aku merenung, terpekur, dan terdiam lama. Tudingan itu sedikit demi sedikit mulai saya pikirkan dengan cermat. Sekilas-sekilas saya merasakan hal itu dengan jernih.

Bang Yusmardi, suami saya, yang setiap hari sibuk menjadi montir mobil keliling, tak pernah punya waktu cukup untuk keharmonisan hubungan dalam rumah tangga kami. Lebih tepatnya ia tak hirau. Secara materi kami memang tidak ada masalah. Anak-anak bersekolah, kemudian kuliah dengan biaya dari kerja bengkel. Kondisi ekonomi keluarga relatif tidak kekurangan. Bahkan bila sesekali mendapatkan pekerjaan besar, suami tak segan membelikan kami pakaian dan peralatan rumah tangga serba baru.

Namun sejak saya bergaul dengan teman-teman komunitas, dengan teman-teman reunian, keadaan jadi berbeda. Teman-teman mengajari saya bahwa isteri harus sangat ketat dalam pengeluaran. Sekalipun suami yang mempunyai penghasilan, jangan biarkan ia leluasa membelanjakannya. Semua pemasukan dipegang isteri. Berapapun. Isterilah yang memegang kendali keuangan. Kalau tidak maka salah-salah akan digunakan untuk mencari kesenangan sendiri, bahkan untuk berselingkuh. Jangan beri kesempatan suami untuk berpaling kepada perempuan lain. Terlebih untuk suami yang masih tampak awet muda seperti Bang Yusmardi.

“Banyak kejadian buruk gara-garanya suami pegang uang. Pak Darbo, Om Matias, Bang Jumalis, bahkan juga Opa Kipli contohnya. Tidak kenal usia. Kalau lelaki dibiarkan pegang uang, akibatnya sangat fatal. . . . .!” ucap Bu Hamidah dengan suara setengah ditekan sehingga begitu meyakinkan. Jalur komunikasi agak terganggu, sehingga suara dari seberang sana berdesis seperti terkena angin ribut.

“Ah, yang bener. Mereka ‘kan orang-orang alim. Lagian siapa mau dengan Opa Kipli yang tuwir dan kisut itu?” bantah Jeng Ratnam sambil geleng-geleng kepala.

“Beria itu belum tentu benar lho, Bu. . . . . .!” sambungku kemudian.

“Yang bermain adalah uang. Dan uang bisa membeli apa saja. Jangan kaget. Soal selingkuh itu penyakit paling berbahaya, melebihi penyakit jantung dan kanker. Karena itu berhati-hatilah, dan mulai sekarang bikin aturan tegas dan tuntas. Apapun kebutuhan suami harus lapor isteri. Kalau urusannya jelas, baru isteri dapat mengeluarkan uang. . . . . .!”  tambah Bu Hamidah lantang.

“Tapi ngomong-ngomong kalau suami Bu Hamidah selingkuh itu gara-ara apa?” celetuk mbak Samirah dengan logat medok namun menohok.

“Itu soal lain. Tidak ada hubungannya dengan upaya pengetatan pengeluaran suami. Lagian ia sudah minggat, biarkan ia hidup bahagia dengan entah siapa. Yang pasti uang peninggalannya sudah menumpuk di tabungan saya. . . . . . .!”  Bu Hamidah terkikik seperti ringkik kuda binal.

Dan saya tahu, saya terpengaruh begitu saja oleh ajakan simpatik Bu Hamidah itu. Siapa yang ingin suami selingkuh? Siapa yang mau membiarkan suami jatuh ke pelukan perempuan lain gara-gara salah mengelola keuangan? Bu Hamidah tepat sekali memberi saran untuk semua perempuan yang berstatus isteri. Meski. . . .ya meski untuk isteri menjelang uzur seperti saya.

***

Bang Yusmardi pada dasarnya orangnya pendiam. Ia bukan tidak mau protes. Namun tidak mau mengambil keputusan cepat. Mungkin saja keinginan saya tepat. Ia bersabar dan menunggu. Ia juga bersabar saat saya meminta ikut kemanapun Bang Yusmardi mendapatkan panggilan membengkel mobil.

Kadang kami berbondengan motor kalau peralatan yang dibawa tidak terlalu berat. Tapi yang tersering ya menggunakan mobil kijang tua kami. Terlebih jika jaraknya jauh dan perlu peralatan dan onderdil tertentu yang dibawa.

Tentu saja penampilan kami sangat kontras. Bang Yusmardi dengan pakaian overall warna biru gelap. Sedangkan saya berpakaian sportif seperti mau berolah raga. Tak lupa dengan dandanan yang maksimal pula. Sebulan lalu Pak Ustad Ramli menekankan pentingnya setiap isteri tampil cantik dan wangi disegala cuaca agar suami betah ditemani. Pasti karenanya biaya make-up menjadi tidak murah. Tiap minggu alat-alat kecantikan itu harus beli baru. Agak boros memang, tapi itulah resiko mempertahankan keutuhan rumah-tangga.

“Maaf, saya disertai isteri yang merangkap kasir, Bu Olmar. Spesialisasi saya memang hanya pada urusan bengkel, soal hitung-hitungan agak payah, kebetulan isteri mau membantu. . . . . .!” ujar Bang Yusmardi terasa betul menyembunyikan sesuatu, dan kalau dicermati pastilah itu sebuah sindiran. Tapi saya cuek saja kok. Saya berpegang teguh pada prinsip dasar. Celah sekecil apapun yang menjadi penyebab suami selingkuh harus ditutup rapat. . . . .

Bila ada acara kumpulan sesama anggota peguyuban maka saya terpaksa membiarkan suami pergi sendiri memenuhi panggilan membengkel. Saya lebih suka bertemu teman-teman sambil makan-minum di restoran mentereng. Sesekali juga pergi ke obyek wisata di seputar kota. Lembang, wisata air panas Ciater, atau obyek wisata Ciwidey dan Kebun Teh Pangalengan. Itu lokasi favorit yang secara bergantian kami kunjungi. Yang penting saling ketemu, pasti ramai dan menyenangkan. Terlebih jika ada beberapa orang suami yang bersedia mengantar para isteri. Mereka pasti tidak sesibuk Bang Yusmardi. Suasna tambah seru.

Soal biaya perkumpulan memang ditanggung bersama. Namun lebih sering saya yang menalangi beberapa teman yang kebetulan sedang kepepet uang. Saya tidak berkeberatan karena uang saya banyak. Bang Yusmardi pasti setuju saja demi kebahagiaan isteri sebagian jerih payah kerja kerasnya di belanjakan.

***

Dan kini Hasni membuat sebuah mahkamah persidangan. Bang Yusmadi sebagai pelapor. Tiga anak sebagai saksi. Hasni sendiri  bertindak sebagai jaksa, hakim, dan pengacara sekaligus. Hanya bedanya pengacara dibayar agar meringankan hukuman untuk klien. Yang ini sebaliknya, ia memberatkan klien. Semua peran itu kompak untuk menyudutkan dan menyalahkan tertuduh. Dan sayalah si tertuduh itu.

“Isteri takut suami selingkuh itu benar. Ketat mengatur keuangan itu benar. Isteri selalu tampil cantik dan wangi itu benar. Mencari banyak teman dan bergaul itu benar. Mencari kebahagiaan itu benar. Sangat benar, dan pasti tidak ada orang yang menolak kebenaran itu. . . . . ..!” Hasni memberi tekanan dengan mengubah keras-lembut nada bicaranya.

Bang Yusmardi dan anak saling pandang. Namun tidak berkomentar apapun, saya juga memilih diam dan menunggu.

“Tapi ternyata hal yang benar, dan mungkin sulit pula ditolak kebenarannya itu dapat pula menjadi salah. Kenapa begitu? Coba kita berpikir jernih?” kembali Hasni bicara sendiri sambil sesekali memperhatikan ke arah satu per satu wajah anggota keluarga di situ. Memastikan tidak ada yang punya pendapat yang berbeda.

Si sulung Hartadi, lalu anak kembar Hastuti dan Harliman, serta Bang Yusmardi hanya mengangguk-angguk. Wajah tenang, tidak ada ketegangan sedikit pun. Satu-satunya yang bermuka kecut dan cemberut tentulah saya sendiri. Saya tidak dapat menyembunyikan rasa jengkel, marah, malu, dan kecewa menjadi satu. Pangkal soalnya tentu karena tidak ada sesuatu pun pendapat Hasni yang dapat saya mentahkan.

“Saya ulang, yang benar dapat menjadi salah. Salah yang paling besar tak lain karena Bang Yusmardi, suami Bu Hastari dan bapak dari empat orang anak, yang bekerja keras sejak muda, sudah uzur. Tiga puluh tahun  lebih menikah tidak ada cerita selingkuh. Nah, sekarang. . . . . . , ada yang coba-coba tidak mempercayainya. Khawatir kalau Bang Yusmardi selingkuh. Lalu melakukan aneka tindakan yang tidak saja tidak tepat tapi juga menggelikan. . . . . .!”

“Menggelikan. . . . .!” serentak yang lain mengulang kata-kata itu.

“Ya, menggelikan. Maaf, saya berhenti bicara sejenak untuk memberi kesempatan kalau ada yang ingin tersenyum atau tertawa karena geli. . . . .!”  ujar Hasni dengan suara penuh ejekan. 

Tiba-tiba handphone Bang Yusmardi berdering nyaring. Dari seberang sana terdengar suara seorang lelaki. “Bang Yus, saya sudah menunggu hampir satu jam kok abang belum datang juga. Saya minta diprioritaskan Bang. Setelah Maghrib nanti kami harus berangkat ke kampung untuk menengok mertua yang sakit. Maaf ya Bang, sekali ini saja saya agak mendesak nih. . . . . !”

Bang Yusmardi berdiri dari duduknya. Mengucapkan sesuatu yang tak jelas, namun intinya pamit untuk urusan pekerjaan. Menerima panggilan adalah pekerjaannya, dan hal itu telah dilakukannya puluhan tahun. Tiba-tiba saya menyadari kembali itulah memang pekerjaannya, untuk apa saya harus mencurigainya? Lelaki itu sudah hampir enam puluh tahun, dn sangat setia sebagai suami. Maka alangkah tepat ungkapan Hasni “Mami telah salah gaul!”

Saya bersyukur sidang berhenti dengan sendirinya, sebab jika tidak bisa saja saya jatuh pingsan. Kesalahan yang bertumpuk-tumpuk iyu dengan sangat tegas dituduhkan Hasni. Ia memang lulusan magister, seorang dosen di Fakultas Hukum.

***

Hari itu juga semua perangkat radio komunikasi dicabut oleh si sulung Hartadi. Disimpan rapi, dan diletakkan di tempat yang mudah diambil jika diperlukan. Namun saya perjanji tidak akan pernah menggunakannya lagi.

Saya memilih keluar dari peguyuban, tidak lagi mengikuti kegiatan reunian. Saya memilih kembali pada kehidupan saya sebagai pedagang beras di kios depan rumah. Di sana sambil menunggu pembeli saya bisa membaca buku-buku agama, mengajar mengaji anak-anak, mendengarkan ceramah agama di layar tv, tadrus al Qur’an, dan terutama menyiapkan makan-minum apa saja kesukaan suami. Cukup lama kesibukan itu saya terlantarkan akibat salah bergaul. Salah gaul!

Bandung, 17 April  - 1 September 2016

Simak juga tulisan sebelumnya:

  1. resepsi-diplomatik-hut-ri-di-noumea-dan-rencana-kunjungan-gubernur-diy
  2. puisi - di ruang tamu
  3. fashion-show-wonderful-indonesia-di-noumea-dan-sejarah-leluhur
  4. cerpen -selingkuh-pemulung-dan-jodoh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun