Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ai dan Secangkir Kopi : Antara data dan Model

21 September 2025   05:40 Diperbarui: 21 September 2025   11:17 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Ada sesuatu yang selalu saya ingat setiap kali menulis tentang teknologi. Ingatan itu datang dari sebuah kedai kecil di sudut kota Malang. Warkop Agam Dinoyo, begitu tertulis besar di dinding bangunan sederhana berlatar hijau. Siang itu kedai tidak ramai. Hanya ada aroma kopi yang mendominasi, menenangkan sekaligus menggoda.

Dari dapur depan warkop, aroma mie Bangladesh khas  dengan taburan puding telur ayam kampung bercampur dengan wangi kopi hitam panas yang baru diseduh. Saya memilih duduk di bangku kayu dekat jendela, ditemani obrolan mahasiswa dan pekerja yang singgah sejenak melepas penat.

Di balik meja kayu sederhana, seorang barista muda berdiri. Ia menimbang biji kopi dengan teliti, menggilingnya perlahan, lalu menyeduhnya dengan hati-hati menggunakan cara tradisional Turki. Tak lama kemudian,  secangkir kopi tersaji di meja saya. Aromanya dalam, rasanya kuat, meninggalkan jejak bukan hanya di lidah, melainkan juga di ingatan.

Kopi itu sederhana, tetapi kelezatannya lahir dari dua hal yang tidak sederhana. Pertama, kualitas biji kopi yang baik. Kedua, keahlian barista dalam mengolahnya. Jika salah satunya cacat, entah biji kopi yang busuk atau teknik penyeduhan yang keliru, maka cangkir kopi itu tidak akan pernah meninggalkan rasa yang sama. Dan persis seperti kopi, begitulah wajah Generative AI hari ini. Ia hanya akan benar-benar memberi manfaat jika dua hal mendasar dijaga kualitasnya. Satu, akurasi data. Dua, akurasi model.

Akurasi data adalah biji kopi kehidupan digital

Di dunia digital, data adalah bahan baku. Tanpa data, tidak ada yang bisa dipelajari oleh algoritma. Namun persoalannya bukan sekadar ada atau tidaknya data, melainkan seberapa akurat data itu. Sama seperti kopi. Ada banyak biji kopi yang bisa kita temukan, tetapi tidak semuanya layak diseduh. Ada biji yang rusak, ada yang tercampur dengan batu, ada pula yang sudah basi. Data pun begitu.

Akurasi data berbicara tentang kebenaran, kebersihan, kelengkapan, konsistensi, dan relevansi. Jika data yang dipakai untuk melatih model Generative AI penuh kesalahan, maka kesalahan itulah yang akan dipelajari. Jika data bias, hasilnya akan bias. Jika data tidak lengkap, maka model akan kesulitan memahami keragaman kasus nyata. Dengan kata lain, kualitas data adalah titik tolak dari segalanya.

Bayangkan seorang penulis yang ingin menulis novel sejarah, tetapi sumber referensinya hanya potongan berita setengah benar, catatan yang tidak diverifikasi, dan rumor dari media sosial. Novel yang lahir dari proses itu bisa jadi menarik, penuh drama, tetapi keabsahannya rapuh. Sama halnya Generative AI. Ia bisa menghasilkan teks, gambar, atau suara yang menakjubkan. Namun bila akurasi data tidak dijaga, hasilnya hanya keindahan semu yang menipu.

Hari ini kita hidup di dunia di mana data meledak dari segala arah. Dari sensor kota pintar, dari media sosial, dari transaksi belanja, dari hasil riset ilmiah, semuanya mengalir deras. Di balik limpahan itu, tantangan terbesar justru adalah memilah dan membersihkan. Seperti petani kopi yang harus sabar memetik biji terbaik, memisahkan dari kotoran, dan menjaga kesegaran, pengelolaan data juga menuntut kesabaran dan ketekunan. Akurasi data bukanlah pekerjaan instan. Ia adalah disiplin yang memerlukan perhatian konstan.

Dalam konteks pendidikan misalnya, data akurat berarti kurikulum, materi pembelajaran, dan referensi yang benar-benar valid. Jika sebuah model AI dilatih dengan bahan bacaan yang salah, ia bisa menyesatkan siswa yang mengandalkannya untuk belajar. Kita tentu tidak ingin generasi muda menghafal kesalahan yang lahir dari kelalaian menjaga kualitas data. Begitu juga dalam pemerintahan. Data yang salah tentang jumlah penduduk atau tingkat kemiskinan bisa melahirkan kebijakan yang tidak tepat sasaran. Itulah mengapa akurasi data adalah fondasi keadilan sosial di era digital.

Akurasi model adalah tangan barista teknologi

Setelah biji kopi terbaik dipilih, langkah berikutnya adalah bagaimana menyeduhnya. Di sinilah akurasi model memainkan perannya. Dalam Generative AI, model adalah otak yang mencoba memahami pola dari data. Model adalah barista yang memutuskan bagaimana menggiling, bagaimana menyeduh, berapa suhu air, dan berapa lama waktu tunggu.

Model yang baik adalah model yang mampu menangkap esensi dari data dan memproduksi sesuatu yang relevan dengan kebutuhan manusia. Ia bisa menulis puisi, menggambar potret, menjawab pertanyaan dengan masuk akal, atau bahkan membuat rancangan arsitektur. Semua itu hanya mungkin bila algoritmanya dirancang dengan cermat, diuji berkali-kali, dan dievaluasi secara kritis.

Namun model tidak sempurna. Ia punya batas. Sama seperti barista yang bisa saja keliru menakar bubuk kopi atau salah memperkirakan suhu air. Karena itu, evaluasi akurasi model menjadi penting. Untuk teks, ada ukuran seperti seberapa koheren dan faktual jawaban yang diberikan. Untuk gambar, ada ukuran seberapa realistis hasil visual yang tercipta. Untuk suara, ada ukuran seberapa alami suara yang dihasilkan di telinga manusia. Semua indikator itu adalah cara kita menguji apakah model benar-benar bekerja sebagaimana mestinya.

Contoh paling nyata adalah ketika sebuah chatbot digunakan dalam pelayanan publik. Jika model tidak akurat, ia bisa menjawab pertanyaan warga dengan informasi salah. Akibatnya bisa fatal, mulai dari kesalahpahaman birokrasi sampai ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Begitu juga di sektor kesehatan. Model yang tidak akurat bisa memberi diagnosa salah. Padahal yang dipertaruhkan adalah nyawa manusia.

Yang menarik adalah hubungan simbiotik antara data dan model. Data yang bagus tidak ada artinya bila model tidak mampu mengolahnya. Model yang canggih pun hanya akan menghasilkan kebingungan jika data yang masuk tidak akurat. Keduanya saling membutuhkan. Keduanya saling menguji. Dan dari kombinasi itulah lahir secangkir kopi digital yang bisa kita nikmati atau justru kita tolak.

Generative AI di persimpangan kopi dan masa depan

Di balik semua analogi kopi itu, ada pertanyaan yang lebih besar. Untuk apa kita menjaga akurasi data dan akurasi model. Jawabannya sederhana sekaligus rumit. Sederhana karena tentu kita ingin teknologi bekerja dengan benar, membantu kehidupan manusia, bukan malah menyesatkannya. Rumit karena menjaga akurasi data dan model bukan hanya urusan teknis, tetapi juga etika, kebijakan, dan kepentingan ekonomi.

Mari kita tarik kembali ke secangkir kopi. Kopi bukan sekadar minuman. Ia bagian dari budaya, pertemuan, bahkan politik. Begitu pula Generative AI. Ia bukan sekadar teknologi. Ia bagian dari perubahan sosial, ekonomi, bahkan spiritual manusia. Jika akurasi data diabaikan, AI bisa memperkuat hoaks dan misinformasi. Jika akurasi model dibiarkan lemah, AI bisa memberi jawaban yang salah, tetapi terdengar meyakinkan. Dampaknya bisa jauh lebih luas daripada sekadar rasa kopi yang hambar.

Bayangkan AI yang dipakai dalam pendidikan tetapi datanya tidak akurat. Alih-alih mencerdaskan, ia justru menanamkan pengetahuan keliru. Bayangkan AI yang dipakai dalam pemerintahan tetapi modelnya tidak teruji. Alih-alih membantu pengambilan keputusan, ia malah menjerumuskan. Bayangkan AI dalam dunia medis yang dilatih dengan data tidak lengkap. Alih-alih menyelamatkan nyawa, ia bisa mengancamnya.

Begitu pula di dunia kerja. Semakin banyak perusahaan menggunakan AI untuk menyaring lamaran, menilai kinerja, bahkan memberi rekomendasi promosi. Jika modelnya tidak akurat, banyak pekerja bisa dirugikan. Bayangkan seseorang yang seharusnya lolos seleksi justru tersingkir karena model salah membaca data. Atau sebaliknya, seseorang yang tidak kompeten justru diterima karena kesalahan evaluasi model. Di titik ini, Generative AI bukan lagi sekadar urusan teknologi, melainkan menyentuh kehidupan sehari-hari yang nyata.

Inilah alasan mengapa akurasi data dan akurasi model tidak boleh dipandang sepele. Keduanya adalah dua sisi dari satu koin. Tanpa keseimbangan, Generative AI bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi menawarkan inovasi yang luar biasa. Di sisi lain berpotensi melukai jika tidak hati-hati.

Maka, tugas kita bersama adalah menjadi penjaga biji kopi dan barista di era digital. Menjaga data agar tetap akurat, mendorong pengembangan model yang transparan dan bisa diaudit, serta memastikan hasil akhir AI memberi manfaat bagi masyarakat luas. Pemerintah, akademisi, industri, hingga masyarakat sipil perlu terlibat dalam percakapan ini. Sebab Generative AI bukan lagi wacana masa depan, melainkan kenyataan hari ini yang sedang mengetuk pintu.

Pada akhirnya, saya kembali pada cangkir kopi yang pertama saya ceritakan. Kopi itu tidak akan pernah sama jika bijinya jelek atau baristanya asal-asalan. Tetapi ketika keduanya berpadu dengan baik, hasilnya luar biasa. Begitu pula generative AI. Kita hanya akan mendapatkan manfaat sejati bila akurasi data dan akurasi model dijaga dengan sepenuh hati.

Mungkin inilah cara paling sederhana memahami teknologi yang begitu rumit. Seperti secangkir kopi, teknologi yang lahir dari data yang akurat dan model yang tepat akan meninggalkan jejak. Jejak yang bukan hanya di lidah, melainkan juga di hati dan masa depan manusia.

Jam menunjukkan menjelang maghrib. Mie Bangladesh pedas gurih sudah tandas, hanya menyisakan rasa hangat di tenggorokan. Kopi  di canggir tinggal setengah, dan suara pengunjung lain masih ramai, bercampur dengan denting sendok di gelas kaca. Di sudut warkop Agam Dinoyo, saya merasa ada kesamaan antara secangkir kopi dan generative AI.

Keduanya butuh racikan. Biji kopi yang baik tanpa barista handal akan sia-sia. Begitu juga data yang akurat tanpa model yang tepat tidak akan menghasilkan apa-apa. Sebaliknya, barista hebat tidak bisa menyelamatkan kopi dari biji yang busuk. Persis seperti model canggih yang tidak akan berguna bila dilatih dengan data yang salah.

Hidup, rupanya, tidak jauh berbeda. Ia menuntut keseimbangan antara bahan baku dan cara mengolahnya. Seperti kopi yang saya seruput sore  ini, generative AI pun harus disajikan dengan kehati-hatian agar bisa benar-benar memberi manfaat. Dan di warkop 24 jam yang tidak pernah tidur ini, saya belajar bahwa racikan yang tepat adalah kunci dari segala hal: kopi yang nikmat, obrolan yang hangat, dan teknologi yang manusiawi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun