Bima mundur, embernya jatuh, air mineral tumpah membanjiri lantai.Â
"Ibu... apa ini?" suaranya bergetar, matanya liar mencari jawaban.
Sumi melangkah maju, tangannya mengeluarkan benda perak ketiga dari keresek lusuh yang biasa ia bawa jualan. Ia menekan tombol, dan suara mendesis mengisi ruangan, disertai proyeksi cahaya yang membentuk peta kecil di udara---peta gedung DPR, dengan titik merah berkedip di salah satu sudut.Â
"RUU TNI itu cuma kedok, Bim," katanya, senyumnya tipis dan penuh rahasia.Â
"Yang mereka kejar adalah ini---alat pengintai yang jatuh dari tangan kami. Kau, tanpa sengaja, membawanya pulang."
Bima terdiam, napasnya terhenti. Ibunya---orang yang selama ini ia pikir ibunya---bukan pedagang asongan biasa yang berjalan kaki menjajakan permen dan rokok di lampu merah. Wajahnya perlahan berubah, keriputnya memudar, rambutnya yang tadinya kusut kini hitam mengilap. Ia adalah agen, mata-mata yang menyamar bertahun-tahun sebagai ibunya, menyembunyikan identitas di balik kresek dagangan dan senyum lelah. Benda perak itu adalah kunci rahasia yang disembunyikan dari demo, dan Bima adalah pion tak sengaja dalam permainan besar itu.
"Jadi... Ibu bohong selama ini?" Bima menatapnya, air mata menggenang, tapi suaranya tetap keras.
"Bukan bohong, Bim. Menjaga," jawabnya, matanya lembut sejenak sebelum kembali tajam.Â
"Aku sengaja jadi pedagang asongan, dekat denganmu, supaya tak ada yang curiga. Tapi sekarang kau tahu---ini misiku, dan kau bagian darinya."
Di luar, sirene polisi mendekat, lampu biru-merah berkedip di gang sempit. Bima menatap benda perak di tangannya, lalu ibunya---orang asing yang kini berdiri di depannya. Ia mengambil keresek ibunya dari lantai, membukanya, dan di dalamnya bukan permen atau rokok, melainkan alat-alat kecil berteknologi tinggi, berkilau dingin. Ember kosong tergeletak di samping, airnya meresap ke lantai, seperti kebenaran yang akhirnya terkuak sepenuhnya.
***