Bima menyipitkan mata, senyum kecil mengintip di sudut bibirnya. "Mas demo buat rakyat, tapi nawar air anak kecil? Empat ribu, cepet gih ambil!"
Pemuda itu terkekeh, napasnya tersengal.Â
"Cerdik lo." Ia menyerahkan dua lembar dua ribuan yang lecek, lalu menyambar botol dari tangan Bima. Air itu diteguknya habis dalam dua tegukan, tetesannya membasahi lehernya yang berkeringat.
Saat Bima memasukkan uang ke saku celananya yang bolong, matanya tertumbuk pada sesuatu di bawah barikade besi polisi---benda kecil, bulat, perak, bersinar samar di antara pecahan batu dan sampah. Ia melangkah mendekat, jongkok, dan memungutnya. Benda itu dingin menusuk, seperti logam yang dicelup es, dan ada tombol kecil di sisinya. Saat ia menekannya, benda itu bergetar pelan, mengeluarkan suara mendesis halus. Bima tersentak, tapi cepat memasukkannya ke ember, menyembunyikannya di antara botol-botol.
"Dek, minggir! Gas lagi!" teriak seorang mahasiswi berbaju hitam, rambutnya dikuncir kuda, tangannya memegang spanduk yang ujungnya hangus. Bima melirik barisan polisi yang maju, tameng mereka berkilau di bawah sinar senja. Ia berlari ke gang sempit di samping, embernya bergoyang, napasnya terengah.
Di gang, ia bertemu Mbok Sari, penjual jamu yang sering memberinya roti sisa. Wanita tua itu duduk di bawah pohon kersen, wajahnya keriput seperti kulit kayu tua, matanya sayu tapi penuh cerita. Botol-botol jamu tergantung di keranjang bambunya, asap rokok kereteknya mengepul tipis.
"Nemu apa kamu, Bim?" tanyanya, suaranya serak seperti daun kering yang bergesekan.
Bima mengeluarkan benda perak itu dari ember, tangannya sedikit gemetar.Â
"Ini, Mbok. Dingin banget, kayak hidup. Tadi mendesis."
Mbok Sari memandang benda itu lama, jari-jarinya yang bengkok mengusap permukaannya. Ia menekan tombol, dan suara mendesis terdengar lagi, disertai kilatan cahaya kecil.Â
"Ini bukan barang biasa, Bim. Kayak alat canggih. Simpen, jangan kasih siapa-siapa."