Mohon tunggu...
Sudomo
Sudomo Mohon Tunggu... Guru Penggerak Lombok Barat

Trainer Literasi Digital | Ketua Komunitas Guru Penggerak Lombok Barat | Duta Teknologi Kemendikbudristek 2023 | Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayang di Balik Asap

10 April 2025   20:46 Diperbarui: 10 April 2025   21:44 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan penjual asongan (Sumber: diproses menggunakan AI Grox)

Bima menyipitkan mata, senyum kecil mengintip di sudut bibirnya. "Mas demo buat rakyat, tapi nawar air anak kecil? Empat ribu, cepet gih ambil!"

Pemuda itu terkekeh, napasnya tersengal. 

"Cerdik lo." Ia menyerahkan dua lembar dua ribuan yang lecek, lalu menyambar botol dari tangan Bima. Air itu diteguknya habis dalam dua tegukan, tetesannya membasahi lehernya yang berkeringat.

Saat Bima memasukkan uang ke saku celananya yang bolong, matanya tertumbuk pada sesuatu di bawah barikade besi polisi---benda kecil, bulat, perak, bersinar samar di antara pecahan batu dan sampah. Ia melangkah mendekat, jongkok, dan memungutnya. Benda itu dingin menusuk, seperti logam yang dicelup es, dan ada tombol kecil di sisinya. Saat ia menekannya, benda itu bergetar pelan, mengeluarkan suara mendesis halus. Bima tersentak, tapi cepat memasukkannya ke ember, menyembunyikannya di antara botol-botol.

"Dek, minggir! Gas lagi!" teriak seorang mahasiswi berbaju hitam, rambutnya dikuncir kuda, tangannya memegang spanduk yang ujungnya hangus. Bima melirik barisan polisi yang maju, tameng mereka berkilau di bawah sinar senja. Ia berlari ke gang sempit di samping, embernya bergoyang, napasnya terengah.

Di gang, ia bertemu Mbok Sari, penjual jamu yang sering memberinya roti sisa. Wanita tua itu duduk di bawah pohon kersen, wajahnya keriput seperti kulit kayu tua, matanya sayu tapi penuh cerita. Botol-botol jamu tergantung di keranjang bambunya, asap rokok kereteknya mengepul tipis.

"Nemu apa kamu, Bim?" tanyanya, suaranya serak seperti daun kering yang bergesekan.

Bima mengeluarkan benda perak itu dari ember, tangannya sedikit gemetar. 

"Ini, Mbok. Dingin banget, kayak hidup. Tadi mendesis."

Mbok Sari memandang benda itu lama, jari-jarinya yang bengkok mengusap permukaannya. Ia menekan tombol, dan suara mendesis terdengar lagi, disertai kilatan cahaya kecil. 

"Ini bukan barang biasa, Bim. Kayak alat canggih. Simpen, jangan kasih siapa-siapa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun