Mohon tunggu...
Sudomo
Sudomo Mohon Tunggu... Guru Penggerak Lombok Barat

Trainer Literasi Digital | Ketua Komunitas Guru Penggerak Lombok Barat | Duta Teknologi Kemendikbudristek 2023 | Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayang di Balik Asap

10 April 2025   20:46 Diperbarui: 10 April 2025   21:44 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan penjual asongan (Sumber: diproses menggunakan AI Grox)

Bima mengangguk, menyelinapkan benda itu ke saku. Tapi pikirannya berputar. Apa ini? Kenapa ada di demo? Lantas kenapa ada perasaan aneh, seperti ada bayang yang mengintai?

Malam turun, demo mulai sepi. Bima duduk di trotoar, menghitung uangnya---dua puluh lima ribu, cukup untuk nasi bungkus dan sedikit tabungan. Tiba-tiba, seorang pria tinggi mendekat. Jaket hitamnya usang, topi pet menutupi wajahnya, tapi matanya tajam seperti elang.

"Kamu ambil sesuatu tadi, ya, di barikade?" suaranya dalam, menggema di gang sunyi.

Bima mundur, tangannya meraba saku. "Enggak, Bang. Cuma jualan air doang."

Pria itu melangkah maju, senyumnya dingin. 

"Jangan bohong! Kasih benda itu, atau kau nggak pulang."

Jantung Bima berdegup kencang. Ia berbalik, berlari sekuat tenaga, kakinya menghantam genangan air. Pria itu mengejar, langkahnya cepat dan pasti. Bima membelok ke lorong sempit, bersembunyi di balik tumpukan kardus. Napasnya tersengal, tangannya memegang benda perak erat-erat. Tiba-tiba, benda itu bergetar keras, suara mendesis berubah menjadi bisikan, "Kembali ke asal."

Bima membukanya dengan jari gemetar, dan di dalamnya ada kertas kecil bertuliskan alamat---alamat kontrakannya sendiri. Ia terpaku. Siapa yang tahu tempat tinggalnya? Lalu kenapa benda ini ada di tangannya?

Saat ia mengintip, pria itu sudah hilang. Bima pulang dengan langkah gontai, pikirannya penuh tanya. Di kontrakan reyotnya di pinggir kali, ia membuka pintu kayu yang berderit. Matanya membelalak. Di atas meja kecil, ada benda perak lain, sama persis, dengan catatan di sampingnya, "Kau penutup cerita ini."

Ibunya, Sumi, yang biasanya duduk di sudut dengan keresek penuh permen dan rokok untuk dijual sebagai pedagang asongan, berdiri di tengah ruangan. Wajahnya tak lagi lelah seperti biasa, matanya dingin seperti baja. 

"Bima," katanya, suaranya asing, dalam, bukan suara ibu yang sering meracau tentang dagangan, "benda itu bukan milik polisi atau mahasiswa. Itu milik kita."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun