Bima mengangguk, menyelinapkan benda itu ke saku. Tapi pikirannya berputar. Apa ini? Kenapa ada di demo? Lantas kenapa ada perasaan aneh, seperti ada bayang yang mengintai?
Malam turun, demo mulai sepi. Bima duduk di trotoar, menghitung uangnya---dua puluh lima ribu, cukup untuk nasi bungkus dan sedikit tabungan. Tiba-tiba, seorang pria tinggi mendekat. Jaket hitamnya usang, topi pet menutupi wajahnya, tapi matanya tajam seperti elang.
"Kamu ambil sesuatu tadi, ya, di barikade?" suaranya dalam, menggema di gang sunyi.
Bima mundur, tangannya meraba saku. "Enggak, Bang. Cuma jualan air doang."
Pria itu melangkah maju, senyumnya dingin.Â
"Jangan bohong! Kasih benda itu, atau kau nggak pulang."
Jantung Bima berdegup kencang. Ia berbalik, berlari sekuat tenaga, kakinya menghantam genangan air. Pria itu mengejar, langkahnya cepat dan pasti. Bima membelok ke lorong sempit, bersembunyi di balik tumpukan kardus. Napasnya tersengal, tangannya memegang benda perak erat-erat. Tiba-tiba, benda itu bergetar keras, suara mendesis berubah menjadi bisikan, "Kembali ke asal."
Bima membukanya dengan jari gemetar, dan di dalamnya ada kertas kecil bertuliskan alamat---alamat kontrakannya sendiri. Ia terpaku. Siapa yang tahu tempat tinggalnya? Lalu kenapa benda ini ada di tangannya?
Saat ia mengintip, pria itu sudah hilang. Bima pulang dengan langkah gontai, pikirannya penuh tanya. Di kontrakan reyotnya di pinggir kali, ia membuka pintu kayu yang berderit. Matanya membelalak. Di atas meja kecil, ada benda perak lain, sama persis, dengan catatan di sampingnya, "Kau penutup cerita ini."
Ibunya, Sumi, yang biasanya duduk di sudut dengan keresek penuh permen dan rokok untuk dijual sebagai pedagang asongan, berdiri di tengah ruangan. Wajahnya tak lagi lelah seperti biasa, matanya dingin seperti baja.Â
"Bima," katanya, suaranya asing, dalam, bukan suara ibu yang sering meracau tentang dagangan, "benda itu bukan milik polisi atau mahasiswa. Itu milik kita."