"Permen seribu, rokok dua ribu!" serunya, suaranya serak, tenggelam dalam hiruk-pikuk sore itu.
Seorang perempuan duduk selonjor di trotoar seberang barikade. Perempuan yang duduk selonjor di atas tikar plastik lusuh itu adalah Sumi. Wajahnya penuh garis lelah seperti peta jalanan yang sudah usang. Jilbab hitamnya terlihat dipakai sekenanya. Baju merah panjang bermotif bunga-bunga terlihat pudar. Di depannya, kresek besar terbuka lebar, penuh botol air mineral, permen, dan rokok lintingan yang ia jajakan. Â
Namun, matanya---hitam, tajam, dan dingin---tak pernah lelah bergerak, menyapu kerumunan mahasiswa yang berlarian, polisi yang berbaris, dan asap yang menari di udara. Sesekali, ia menunduk, tangannya seolah merapikan dagangan, tetapi jari-jarinya berhenti di salah satu kresek kecil di sampingnya, mengusap sesuatu yang tak terlihat.
Langit Jakarta sore itu membara merah, seperti bara yang tersisa di perapian tua. Gedung DPR menjulang di kejauhan, dikelilingi gelombang manusia yang berteriak, spanduk #Tolak RUU TNI berkibar liar bagai layar kapal yang terkoyak badai. Asap gas air mata melayang rendah, menyelinap di antara jerit dan derap sepatu bot polisi yang bergema.Â
Di sisi lain trotoar, Bima berdiri, topi capingnya miring menaungi wajah kecilnya. Usianya 11 tahun, tubuhnya kurus seperti dahan kering, kulitnya legam terbakar matahari. Matanya hitam berkilat, tajam seperti ujung tombak. Di tangannya, ember plastik biru penuh botol air mineral berembun, es di dalamnya mencair perlahan, meninggalkan genangan di beton. Ia melirik ibunya dari kejauhan, biasa saja, seperti anak pedagang lain yang membantu mencari rezeki. Tapi hari ini, ada sesuatu di sorot mata Sumi yang tak ia kenali---dingin, penuh rahasia, seperti kolam dalam yang menyimpan bayang tak terlihat.
"Air dingin, Mas! Lima ribu!" teriak Bima pada seorang mahasiswa yang terbatuk-batuk, tangannya menggosok mata yang perih.Â
Pemuda itu, rambutnya acak-acakan dan kausnya robek di lengan, menoleh dengan wajah memerah.
"Tiga ribu boleh, Dek?" tanyanya, suaranya parau, jari-jarinya memegang dompet lusuh.
Bima menyipitkan mata, senyum kecil mengintip di sudut bibirnya. "Mas demo buat rakyat, tapi nawar air anak kecil? Empat ribu, cepet gih ambil!"
Pemuda itu terkekeh, napasnya tersengal.Â
"Cerdik lo." Ia menyerahkan dua lembar dua ribuan yang lecek, lalu menyambar botol dari tangan Bima. Air itu diteguknya habis dalam dua tegukan, tetesannya membasahi lehernya yang berkeringat.
Saat Bima memasukkan uang ke saku celananya yang bolong, matanya tertumbuk pada sesuatu di bawah barikade besi polisi---benda kecil, bulat, perak, bersinar samar di antara pecahan batu dan sampah. Ia melangkah mendekat, jongkok, dan memungutnya. Benda itu dingin menusuk, seperti logam yang dicelup es, dan ada tombol kecil di sisinya. Saat ia menekannya, benda itu bergetar pelan, mengeluarkan suara mendesis halus. Bima tersentak, tapi cepat memasukkannya ke ember, menyembunyikannya di antara botol-botol.
"Dek, minggir! Gas lagi!" teriak seorang mahasiswi berbaju hitam, rambutnya dikuncir kuda, tangannya memegang spanduk yang ujungnya hangus. Bima melirik barisan polisi yang maju, tameng mereka berkilau di bawah sinar senja. Ia berlari ke gang sempit di samping, embernya bergoyang, napasnya terengah.
Di gang, ia bertemu Mbok Sari, penjual jamu yang sering memberinya roti sisa. Wanita tua itu duduk di bawah pohon kersen, wajahnya keriput seperti kulit kayu tua, matanya sayu tapi penuh cerita. Botol-botol jamu tergantung di keranjang bambunya, asap rokok kereteknya mengepul tipis.
"Nemu apa kamu, Bim?" tanyanya, suaranya serak seperti daun kering yang bergesekan.
Bima mengeluarkan benda perak itu dari ember, tangannya sedikit gemetar.Â
"Ini, Mbok. Dingin banget, kayak hidup. Tadi mendesis."
Mbok Sari memandang benda itu lama, jari-jarinya yang bengkok mengusap permukaannya. Ia menekan tombol, dan suara mendesis terdengar lagi, disertai kilatan cahaya kecil.Â
"Ini bukan barang biasa, Bim. Kayak alat canggih. Simpen, jangan kasih siapa-siapa."
Bima mengangguk, menyelinapkan benda itu ke saku. Tapi pikirannya berputar. Apa ini? Kenapa ada di demo? Lantas kenapa ada perasaan aneh, seperti ada bayang yang mengintai?
Malam turun, demo mulai sepi. Bima duduk di trotoar, menghitung uangnya---dua puluh lima ribu, cukup untuk nasi bungkus dan sedikit tabungan. Tiba-tiba, seorang pria tinggi mendekat. Jaket hitamnya usang, topi pet menutupi wajahnya, tapi matanya tajam seperti elang.
"Kamu ambil sesuatu tadi, ya, di barikade?" suaranya dalam, menggema di gang sunyi.
Bima mundur, tangannya meraba saku. "Enggak, Bang. Cuma jualan air doang."
Pria itu melangkah maju, senyumnya dingin.Â
"Jangan bohong! Kasih benda itu, atau kau nggak pulang."
Jantung Bima berdegup kencang. Ia berbalik, berlari sekuat tenaga, kakinya menghantam genangan air. Pria itu mengejar, langkahnya cepat dan pasti. Bima membelok ke lorong sempit, bersembunyi di balik tumpukan kardus. Napasnya tersengal, tangannya memegang benda perak erat-erat. Tiba-tiba, benda itu bergetar keras, suara mendesis berubah menjadi bisikan, "Kembali ke asal."
Bima membukanya dengan jari gemetar, dan di dalamnya ada kertas kecil bertuliskan alamat---alamat kontrakannya sendiri. Ia terpaku. Siapa yang tahu tempat tinggalnya? Lalu kenapa benda ini ada di tangannya?
Saat ia mengintip, pria itu sudah hilang. Bima pulang dengan langkah gontai, pikirannya penuh tanya. Di kontrakan reyotnya di pinggir kali, ia membuka pintu kayu yang berderit. Matanya membelalak. Di atas meja kecil, ada benda perak lain, sama persis, dengan catatan di sampingnya, "Kau penutup cerita ini."
Ibunya, Sumi, yang biasanya duduk di sudut dengan keresek penuh permen dan rokok untuk dijual sebagai pedagang asongan, berdiri di tengah ruangan. Wajahnya tak lagi lelah seperti biasa, matanya dingin seperti baja.Â
"Bima," katanya, suaranya asing, dalam, bukan suara ibu yang sering meracau tentang dagangan, "benda itu bukan milik polisi atau mahasiswa. Itu milik kita."
Bima mundur, embernya jatuh, air mineral tumpah membanjiri lantai.Â
"Ibu... apa ini?" suaranya bergetar, matanya liar mencari jawaban.
Sumi melangkah maju, tangannya mengeluarkan benda perak ketiga dari keresek lusuh yang biasa ia bawa jualan. Ia menekan tombol, dan suara mendesis mengisi ruangan, disertai proyeksi cahaya yang membentuk peta kecil di udara---peta gedung DPR, dengan titik merah berkedip di salah satu sudut.Â
"RUU TNI itu cuma kedok, Bim," katanya, senyumnya tipis dan penuh rahasia.Â
"Yang mereka kejar adalah ini---alat pengintai yang jatuh dari tangan kami. Kau, tanpa sengaja, membawanya pulang."
Bima terdiam, napasnya terhenti. Ibunya---orang yang selama ini ia pikir ibunya---bukan pedagang asongan biasa yang berjalan kaki menjajakan permen dan rokok di lampu merah. Wajahnya perlahan berubah, keriputnya memudar, rambutnya yang tadinya kusut kini hitam mengilap. Ia adalah agen, mata-mata yang menyamar bertahun-tahun sebagai ibunya, menyembunyikan identitas di balik kresek dagangan dan senyum lelah. Benda perak itu adalah kunci rahasia yang disembunyikan dari demo, dan Bima adalah pion tak sengaja dalam permainan besar itu.
"Jadi... Ibu bohong selama ini?" Bima menatapnya, air mata menggenang, tapi suaranya tetap keras.
"Bukan bohong, Bim. Menjaga," jawabnya, matanya lembut sejenak sebelum kembali tajam.Â
"Aku sengaja jadi pedagang asongan, dekat denganmu, supaya tak ada yang curiga. Tapi sekarang kau tahu---ini misiku, dan kau bagian darinya."
Di luar, sirene polisi mendekat, lampu biru-merah berkedip di gang sempit. Bima menatap benda perak di tangannya, lalu ibunya---orang asing yang kini berdiri di depannya. Ia mengambil keresek ibunya dari lantai, membukanya, dan di dalamnya bukan permen atau rokok, melainkan alat-alat kecil berteknologi tinggi, berkilau dingin. Ember kosong tergeletak di samping, airnya meresap ke lantai, seperti kebenaran yang akhirnya terkuak sepenuhnya.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI