Mohon tunggu...
Sudomo
Sudomo Mohon Tunggu... Guru - Guru Penggerak Lombok Barat

Trainer Literasi Digital | Ketua Komunitas Guru Penggerak Lombok Barat | Duta Teknologi Kemendikbudristek 2023 | Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Malas Belajar Menulis Fiksi!

30 Januari 2023   00:05 Diperbarui: 31 Januari 2023   17:23 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Diskusi menulis fiksi. (Foto: dokumentasi pribadi) 

Perlahan suara-suara itu menghilang. Satu per satu meninggalkanku sendirian. Kali ini aku berkarib dengan suara kipas angin. Selain itu, deru pelan suara komputer menemani. Layar komputer terlihat terang. Di depannya, aku terpaku menatap sederet kata yang telah kurangkai. Pandanganku kosong. Jemariku masih terdiam di atas papan ketik. Deretan huruf tidak mampu menggoda anganku untuk kembali menarikan jemari. Aku memilih menjadi patung. 

Sayup terdengar langkah kaki mendekat. Setelah itu suara pintu menggesek lantai terdengar didorong. Tak lama kemudian seraut wajah terlihat jelas di pandangan. Dia adalah Bu Ayu, rekan sejawat di sekolahku. Raut wajahnya terlihat berbeda dari biasanya. Kali ini wajahnya terlihat kusam. 

"Aku malas belajar menulis fiksi!"

Kalimat itu membuatku sedikit mengangkat bahu. Aku tahu selama ini dia memang kurang suka menulis. Namun, tidak pernah seperti ini sebelumnya. Aku pun sedikit menggeser duduk saat dia duduk di depan mejaku. Kali ini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. 

"Bu Ayu kenapa? Kok tiba-tiba ngomong kayak gitu?" tanyaku sambil sedikit menggeser posisi layar komputer. 

Perempuan paruh baya itu hanya menggelengkan kepala. Sesaat setelahnya dia menunduk. Aku melihatnya dia memainkan pulpen yang dipegangnya. Cukup lama tidak ada suara tercipta. Masing-masing sibuk menjaring pikirannya. Hingga akhirnya, pecahlah suaranya. 

"Gimana, sih, caranya nulis fiksi, Pak Mo?" dia bertanya sambil mengangkat wajahnya. 

Kedua ujung bibirku tertarik ke dua arah berbeda demi mendengar keinginannya. Aku sedikit mencondongkan badan ke arahnya. Sambil menangkupkan dua tanganku dan menahan dagu, aku mulai merangkai kata. 

"He he he… tadi katanya malas belajar nulis fiksi. Kok sekarang pengin belajar nulis? He he he… ." kataku sambil menarik sedikit badanku ke belakang. 

Perempuan berambut ikal sebahu itu akhirnya memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Sesaat kemudian dia mulai membuka mulutnya. 

"Iya, nih. Abisnya susah banget aku nulis cerita fiksi," katanya dengan menegakkan badannya di sandaran kursi. 

Mataku menangkap sinyal keinginannya belajar. Sinyal itu pun terkirim ke otak. Otakku bergegas memerintahkan tanganku menuju laci meja. Setelahnya tangan kananku menarik dan membukanya. Sebuah buku berpindah ke retina mataku. Bersamaan dengan tarikan kedua ujung bibir, tanganku meraih buku itu. 

Aku pun menyodorkan buku itu padanya kemudian berkata, "Coba, deh, Bu Ayu baca buku ini. Siapa tahu dapet pencerahan nanti."

Bu Ayu pun mulai mengamati buku itu. Setengah berbisik dia membaca judul buku itu, Membongkar Rahasia Menulis Ala Guru Blogger. 

"Wah! Kayaknya bagus, nih, Pak Mo," katanya sambil membolak-balikkan buku. 

Ada yang hangat dalam hatiku demi mendengar perkataannya. Aku pun kemudian berkata, "Coba Bu Ayu baca mulai halaman lima puluh lima. Di sana ada tips mudah menulis cerita fiksi."

Aku melihat tangan perempuan itu membuka lembar demi lembar buku antologi dengan sampul yang didominasi warna biru muda itu. Tepat di halaman yang dituju, dia menghentikan gerakan tangannya. Dengan saksama dia terlihat membaca nama penulisnya. 

Sambil sedikit menarik badannya, dia berkata, "Hah? Ini tulisanmu, Pak Mo?"

Aku menjawab pertanyaannya dengan tawa renyah setelah sebelumnya menganggukkan kepala. Tawa kami berdua pun memenuhi ruangan penuh komputer itu. Tanpa kami sadari, ternyata ruangan itu sudah penuh dengan guru-guru lainnya. Mereka terlihat mengisi jam istirahat dengan hal bermanfaat, berselancar di dunia maya. 

Tanpa memedulikan keberadaan beberapa rekan sejawat lainnya, aku mulai mengajak Bu Ayu kembali berbincang. Kali ini terkait dengan tulisan tips mudah menulis cerita fiksi. Kebetulan kami berdua sedang tidak ada jam mengajar. 

"Gimana, Bu? Sudah selesai membacanya?" tanyaku sambil membuka file buku tersebut di komputerku. 

Bu Ayu tidak segera merespons pertanyaanku. Dia masih asyik menikmati rangkaian kata yang ada. Sesekali dia terlihat mengerutkan dahinya. Namun, itu tidak membuatnya meneruskan membaca. Terlihat kesungguhannya dalam melanjutkan membuka setiap halaman buku. Hingga akhirnya, dia menghentikan aktivitasnya. 

Aku kembali bertanya, "Gimana, Bu? Sudah selesai membacanya?"

Bu Ayu memalingkan wajahnya dari buku. Sepasang mata sayunya menatap ke arahku. Senyumannya tercetak jelas di kelopak mataku. 

"Belum, Pak Mo. Aku baru baca garis besarnya doang, nih," jawabnya sambil membetulkan posisi buku di pangkuannya. 

Sejurus kemudian sederet kalimat tanya meluncur dari bibirku, "Apa yang Bu Ayu udah baca? Cerita, dong!"

Bu Ayu mulai menceritakan hasil bacanya. Dia mengawali cerita tentang alasan mengapa harus menulis cerita fiksi. Dia juga menjelaskan bahwa salah satu alasannya adalah dengan menulis fiksi, akan memudahkan guru dalam membuat soal Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) aspek literasi teks fiksi sebagai latihan. Lebih lanjut dia menjelaskan alasan lainnya, yaitu sebagai upaya menyembuhkan dan menyembunyikan diri. Tidak lupa dia menyebutkan alasan menulis fiksi, yaitu sebagai jalan mengeksplorasi dan menemukan passion dalam menulis. 

Mendengar penjelasannya, aku bertepuk tangan pelan. Aku pun memancingnya untuk menyampaikan pertanyaan. 

Bu Ayu pun bertanya, "Emang apa aja, sih, syarat agar bisa menulis fiksi, Pak Mo?"

Aku memberikan penguatan atas pertanyaan Bu Ayu. Setelahnya mulai menjelaskan dengan perlahan-lahan agar mudah dipahami olehnya. Aku menjelaskan bahwa syarat pertama agar bisa menulis fiksi adalah komitmen dan niat kuat untuk menulis. 

"Nah komitmen dan niat ini erat kaitannya sama upaya mempelajari dan menyelesaikan tulisan yang telah dimulai. Gitu," jawabku sambil melemparkan senyum tipis ke arahnya. 

Bu Ayu merespons jawabanku dengan sebuah pertanyaan, "Lalu bagaimana tentang syarat lainnya yaitu kemauan dan kemampuan melakukan riset, Pak Mo? Emang tulisan fiksi butuh riset juga, ya?"

"He he he… iya, dong! Meskipun metodenya beda sama tulisan nonfiksi, tapi dengan kemauan dan kemampuan riset, penulis dapat dengan mudah menulis cerita. Misalnya, terkait setting tempat. Kalau kita riset melalui literatur atau lapangan, kita akan bisa menulis tempat dengan detail. Gitu, Bu," mataku panjang lebar menjelaskan. 

Setelahnya aku melanjutkan diskusi terkait syarat agar bisa menulis fiksi, yaitu membaca karya fiksi orang lain untuk memperoleh gambaran tentang teknik kepenulisan, gaya bahasa, dan menambah kosa kata. Lebih jauh diskusi juga membahas hal lainnya, yaitu menguasai PUEBI dan KBBI, menjaga konsistensi menulis, dan memahami dasar-dasar menulis fiksi. 

"Terkait dasar-dasar menulis fiksi, pasti Bu Ayu udah paham banget dong apa aja. Iya, dong! Guru Bahasa Indonesia gitu, lho! He he he… " kataku sambil tertawa. 

Bu Ayu pun ikut tertawa kemudian berkata, "Ye… tapi, kan, aku jarang nulis cerita fiksi kayak Pak Mo."

Setelah memberikan penguatan, aku meminta Bu Ayu menjelaskan tentang dasar-dasar menulis fiksi. Dengan gamblang dia pun menjelaskan tentang bentuk-bentuk serta unsur-unsur pembangun cerita fiksi. Dia menjelaskan bentuk-bentuk cerita fiksi meliputi cerpen, novelet, novela, dan novel. Aku menambahkan bentuk-bentuk lainnya, yaitu fiksimini, flash fiction, dan pentigraf. Guru Bahasa Indonesia itu menganggukkan kepala ketika aku menjelaskan tentang perbedaan semuanya, yaitu tergantung pada jumlah kata. 

Aku kembali tersenyum, "Wow! Penjelasan yang luar biasa, Bu Ayu. Terus kalau unsur-unsur pembangun cerita fiksi yang Bu Ayu tahu apa aja?"

Bu Ayu terlihat mengerutkan keningnya sejenak. Sejurus kemudian dia menggerakkan jemarinya menghitung mulai dari satu. Dia pun menjelaskan unsur pembangun pertama, yaitu tema, alur/plot, penokohan, latar/setting, dan sudut pandang. Setelah dia selesai menjelaskan, aku kemudian menambahkan premis sebagai salah satu unsur pembangun cerita fiksi. 

"Premis itu apa sih, Pak Mo?" tanya Bu Ayu sambil membuka halaman buku yang dipegangnya. 

Aku pun mulai menjelaskan, "Premis itu adalah ringkasan cerita dalam satu kalimat. Premis ini akan memudahkan dalam mengembangkan cerita. Unsur premis, yaitu karakter, tujuan tokoh, rintangan/tantangan, dan resolusi."

Sepasang mata Bu Ayu terlihat berbinar. Meskipun demikian terlihat masih menyisakan tanda tanya. 

"Contoh premis itu gimana, sih, Pak Mo?" tanyanya sambil menatap lekat ke arahku. 

Aku pun memberikan contoh, yaitu seorang penyihir cilik yang harus berjuang menaklukkan penyihir jahat demi ketenangan dunia. Dari contoh premis itu aku pun merangkai tanya kepada Bu Ayu. 

"Nah dari contoh itu, premis cerita film apakah itu?" tanyaku sambil tersenyum. 

Kening Bu Ayu terlihat sedikit berkerut. Kemudian setelahnya dia menjawab dengan lantang, "Harry Potter!"

"That's right!" jawabku sambil mengacungkan jempol. 

Aku dan Bu Ayu pun tergelak. Tawa lepas memenuhi ruangan. Tawa yang membuat beberapa pasang mata tertuju kepada kami berdua. Secara hampir bersamaan kami pun menutup mulut dengan tangan masing-masing. Diskusi siang itu pun kembali berlanjut. Kali ini membahas tentang tips menulis fiksi. 

Aku pun menjelaskan mulai dari niat untuk menulis, yaitu motivasi diri untuk memulai dan menyelesaikan tulisan. Tips berikutnya yang aku sampaikan ke Bu Ayu adalah membaca karya fiksi orang lain sebagai referensi. Tidak lupa aku menjelaskan tentang ide dan genre cerita. Terkait dengan ide yang bisa ditemukan melalui imajinasi dan mengasah kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Sedangkan terkait genre cerita, aku menyarankan kepadanya untuk memilih yang disukai dan dikuasai. 

"Itu doang, Pak Mo?" tanyanya sambil membuka halaman terkait tips mudah menulis cerita fiksi. 

Aku pun melanjutkan penjelasan bahwa masih ada tips lainnya, yaitu membuat outline atau kerangka cerita berdasarkan unsur-unsur pembangun cerita fiksi. Tujuannya adalah agar cerita tidak melebar ke mana-mana. Selain itu, aku juga menjabarkan tentang pentingnya mulai menulis ide yang ada. 

Bagian menulis ini meliputi, membuka cerita dengan baik (dialog, kutipan, kata unik, konflik), melakukan pengenalan tokoh dan latar dengan baik dengan cara memaparkan secara jelas kepada pembaca, menguatkan sisi konflik internal dan eksternal tokoh, menggunakan pertimbangan logis agar tidak cacat logika dan memperkuat imajinasi, memilih susunan kalimat yang pendek dan jelas, memperkuat tulisan dengan pemilihan kata (diksi), dan membuat ending yang baik. 

"Wah ternyata menulis cerita fiksi itu mudah, ya, Pak Mo," kata Bu Ayu bersemangat. 

Aku pun menanggapi perkataannya itu dengan kalimat penguat, "Pasti, dong, Bu. Asal ada kemauan untuk memulai dan menyelesaikan cerita yang sudah ditulis. Jangan lupa melakukan swasunting sebelum tulisan diterbitkan. Kalau Bu Ayu mau, saya yakin pasti bisa! Gimana masih malas menulis cerita fiksi, Bu? He he he… . "

Bu Ayu mengembangkan senyumnya. Senyum lepas setelah yakin bahwa dia sanggup memulai dan menuntaskan cerita fiksi yang akan ditulisnya. 

"Enggak, dong! Kan, udah dapet ilmunya. He he he.... " jawabnya tersenyum lebar. 

Obrolan pun usai setelah aku memberikan tugas pada Bu Ayu untuk dieksekusi menjadi sebuah cerita fiksi. Tugas itu, yaitu menentukan lima tema yang disukai dan dikuasai. Setelah itu aku juga memberikan tugas kepadanya memilih satu tema untuk dijadikan premis kemudian dikembangkan menjadi satu cerita fiksi. Dia pun menyatakan kesanggupannya. 

Obrolan benar-benar usai saat dia mengucapkan terima kasih dan perlahan keluar ruangan kembali ke ruang guru. Kembali hanya suara kipas angin menemaniku di ruangan. Kesejukannya mampu membuatku kembali tersenyum. Harapan baru tercipta dari keinginan kuat seorang teman dekat untuk mengikuti jejak menulis cerita fiksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun