Mohon tunggu...
Sudomo
Sudomo Mohon Tunggu... Guru - Guru Penggerak Lombok Barat

Trainer Literasi Digital | Ketua Komunitas Guru Penggerak Lombok Barat | Duta Teknologi Kemendikbudristek 2023 | Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Murid Menceletuk "Kamu Nanyea", Guru Harus Bagaimana?

9 Januari 2023   00:03 Diperbarui: 11 Januari 2023   09:00 2042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa SMA sedang mengerjakan tugas kelompok. (sumber: Shutterstock/Ibenk_88 via kompas.com) 

Konten  viral di media sosial berpotensi menjadi tuntunan. Baik itu konten positif maupun negatif. Tanpa adanya upaya memfilter, konten-konten tersebut akan secara mentah-mentah ditelan pengguna media sosial. 

Bukan saja kalangan dewasa, melainkan juga anak-anak. Bagi orang dewasa tentu tidaklah sulit melakukan filterisasi konten. 

Beda halnya dengan anak-anak. Kondisi yang masih labil, membuat anak-anak cenderung belum mampu mengambil keputusan secara mandiri. Dalam hal ini keputusan terkait memilih dan memilah konten media sosial.

Murid di sekolah yang masih termasuk kategori anak-anak membutuhkan pendampingan dalam melakukan filterisasi konten viral. Peran guru menjadi sangat vital. Sebagai seorang pendidik tentu harus bisa mengarahkan konten viral menjadi sesuatu yang positif. 

Hal ini karena seperti kita ketahui bersama bahwa tidak semua konten viral itu bersifat mendidik. Beberapa konten viral memang positif. Ada juga yang sifatnya hanya hiburan semata. Bahkan tidak jarang konten viral justru menjurus ke perilaku negatif. 

Hingga saat ini konten viral terus bertambah dari masa ke masa. Akhir-akhir ini linimasa media sosial dipenuhi dengan viralnya penyanyi cilik bersuara emas, Farel Prayoga. 

Lagu yang dibawakannya pun sontak dihafal oleh anak-anak termasuk murid di sekolah. Dalam berbagai kesempatan lagu tersebut didendangkan. 

Bahkan saat proses pembelajaran sedang berlangsung. Alih-alih menemukan aksi nyata kreatif terkait lagu dalam proses pembelajaran, beberapa oknum guru justru menyalahkan lagu tersebut.

Sebelum viral mainan jadul latto-latto yang membuat beberapa pemerintah daerah melarang murid membawanya ke sekolah, juga ada konten viral lainnya. 

Konten viral tersebut adalah hadirnya seorang sadboy, Fajar. Beruntung sejauh ini di sekolah tidak terlihat begitu booming. Dalam artian hampir tidak terlihat adanya murid yang mengikuti perilaku Fajar yang larut dalam kesedihan karena ditinggal kekasihnya. 

Namun, bisa jadi tanpa sepengetahuan guru perilaku tersebut ditunjukkan oleh murid saat berada di lingkungan keluarga dan masyarakat. 

Sebelum kedua konten tersebut viral, masih ada lagi konten viral lainnya, yaitu hadirnya Dilan Cepmek. Keviralan ini bahkan masih bertahan hingga sekarang. Bukan saja dalam pergaulan sehari-hari murid di rumah, tetapi juga di sekolah. 

Ucapan Dilan Cepmek "Kamu nanyea?" begitu hits. Setiap ada pertanyaan ditujukan, seorang murid balik bertanya seperti halnya Dilan Cepmek. 

Jika situasinya bercanda, hal ini tidak akan berpengaruh apa-apa. Namun, akan berbeda cerita saat berada dalam situasi yang serius. 

Dalam situasi serius, pertanyaan ala Dilan Cepmek sungguh meresahkan. Ada kesan 'meremehkan' dalam pertanyaan ala Dilan. Situasi yang serius bukannya cair justru akan menjadi hal yang runyam. 

Hal ini karena pertanyaan tersebut mengundang ketersinggungan bagi pihak yang bertanya. Jika tidak diselesaikan baik-baik tentu akan berpotensi terjadinya konflik serius. 

Ilustrasi: Kegiatan di Sekolah. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Ilustrasi: Kegiatan di Sekolah. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Lantas, bagaimana dengan perilaku murid di sekolah saat menirukan konten viral Dilan Cepmek ini? 

Tidak jarang murid melontarkan pertanyaan ala Dilan Cepmek kepada teman lainnya. Baik itu di luar maupun saat proses pembelajaran. Dampak yang terjadi berdasarkan pengalaman penulis adalah adanya sedikit ketersinggungan dari teman lain yang bertanya. 

Sebagian murid merespons pertanyaan tersebut secara spontan dengan kata-kata kotor. Tentu jika ini berlarut-larut akan berdampak kurang baik terhadap perkembangan karakter mereka. 

Bukan kepada temannya saja murid bertanya. Mereka terkadang menceletuk ala Dilan Cepmek saat guru bertanya di kelas. Jika dibiarkan dikhawatirkan hal ini akan menjadi kebiasaan buruk.

Bagi guru yang memahami akan menjadi hal yang mudah diarahkan menjadi hal positif dalam proses pembelajaran. 

Namun, tidak demikian bagi guru yang tidak panjang ususnya alias tidak sabar. Bukan tidak mungkin guru secara spontan akan bertindak tegas menjurus kekerasan. 

Bagaimana guru bisa memanfaatkan konten viral pertanyaan ala Dilan Cepmek ini di kelas? 

Memang bukan hal mudah bagi guru. Namun, bukan berarti sulit dilakukan. Guru bisa memanfaatkan konten viral ini sebagai ajang bagi murid untuk saling bertanya terkait materi pembelajaran. Memang bisa? Tentu saja. 

Tergantung kreativitas masing-masing guru dalam mengelola murid di kelas. Salah satu strategi yang bisa dilakukan oleh guru adalah memanfaatkan pertanyaan ala Dilan Cepmek ini untuk menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan. Bagaimana caranya? 

Pertama, guru harus memastikan telah memberi penjelasan kepada murid bahwa tidak semua konten viral itu boleh ditiru. Pada tahap ini guru memberikan beberapa contohnya. 

Kedua, guru melanjutkan penjelasan singkat terkait pembelajaran yang bisa diambil dari sebuah konten viral. Hal ini penting agar murid bisa menemukan hal positif dari sebuah keviralan. 

Ketiga, guru merancang strategi pemanfaatan konten viral dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh pemanfaatan konten viral pertanyaan ala Dilan Cepmek "Kamu nanyea?" dalam proses pembelajaran. 

Keempat, guru membentuk kelompok yang terdiri dari dua orang murid. Guru bisa mengusahakan dua orang murid tersebut adalah teman sebangku. 

Kelima, guru memberikan tugas berbeda kepada kedua murid tersebut. Sebagai contoh dalam pembelajaran IPA kelas 7 materi Sistem Organisasi Kehidupan adalah membedakan sel hewan dan tumbuhan. Masing-masing murid sebangku diberikan kebebasan berbagi tugas menggambar salah satu sel hewan dan tumbuhan beserta nama organel penyusunnya. 

Keenam, guru meminta kelompok teman sebangku tersebut mempresentasikan hasil karyanya sekaligus menemukan perbedaan organel sel hewan dan tumbuhan. 

Ketujuh, guru meminta murid pertama yang menggambar sel hewan bertanya kepada murid kedua yang menggambar sel tumbuhan tentang ada atau tidaknya organel sel. Misalnya, "Apakah sel tumbuhan memiliki nukleus?" 

Murid yang ditanya diminta menanggapi dengan pertanyaan ala Dilan Cepmek, "Kamu nanyea?". Selanjutnya murid pertama menjawab, "Iya. Saya bertanyea-tanyea. Maukah kamu menjawaebnya?". 

Murid kedua pun akhirnya menjawab ada tidaknya organel sel berdasarkan gambar yang telah dibuatnya. Selanjutnya murid pertama mencatat hasilnya pada tabel yang telah dibuat di papan tulis. 

Tanda centang (√) untuk jawaban 'ada' dan tanda strip (-) jika tidak ada pada kolom yang sesuai. Proses tanya jawab terus berlanjut secara bergantian sampai semua organel sel habis ditanyakan. 

Uraian di atas berdasarkan praktik baik yang telah dilakukan penulis di kelas. Hasilnya bisa saja berbeda dalam penerapannya oleh guru lain. 

Hanya sekadar berbagi sebagai bukti bahwa konten viral media sosial pun bisa menjadi inspirasi dalam proses pembelajaran. 

Setidaknya saat murid merespons pertanyaan guru dengan pertanyaan ala Dilan Cepmek "Kamu nanyea?", guru memiliki alternatif memanfaatkannya menjadi pembelajaran yang menyenangkan bagi murid di kelas. 

Semoga menginspirasi! 

Salam Bloger Penggerak
Sudomo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun