Artikel opini kritis tentang reformasi DPR. Mengupas transparansi digital, partisipasi publik, dan evaluasi kinerja sebagai jalan memperkuat representasi rakyat di parlemen.
Setiap kali rakyat memberi suara dalam pemilu, harapan besar disematkan pada mereka yang duduk di kursi parlemen. DPR bukan sekadar lembaga legislatif, melainkan perwujudan amanat konstitusi agar kebijakan negara berpihak pada keadilan sosial. Namun, seiring waktu, kepercayaan publik mulai retak. Sidang-sidang yang tertutup, kebijakan yang membebani, dan jarak yang semakin jauh antara rakyat dan wakilnya menimbulkan kegelisahan mendalam. Tulisan ini hadir untuk mengurai keresahan itu sekaligus menawarkan gagasan praktis agar representasi rakyat tidak lagi hanya menjadi janji kosong, melainkan kenyataan yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah DPR masih benar-benar mewakili rakyat, ataukah ia kini lebih menjadi representasi partai politik semata? Pertanyaan ini terus bergema dalam benak banyak warga negara. Kita memilih wakil untuk duduk di kursi parlemen dengan harapan suara publik menjadi landasan kebijakan. Namun realitas di lapangan kerap menimbulkan rasa asing, seakan ruang-ruang politik hanya menjadi arena kompromi elit, jauh dari denyut kehidupan rakyat sehari-hari.
Di tengah harga kebutuhan pokok yang kian melambung, pajak yang semakin menekan, dan penghasilan masyarakat yang belum beranjak naik, rakyat berharap DPR hadir sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif. UUD 1945 mengamanatkan lembaga legislatif sebagai pengawas jalannya pemerintahan, agar setiap kebijakan berpihak pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tetapi kenyataan sering kali mengecewakan. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, parlemen justru lebih sibuk dengan agenda politik internal.
Reformasi DPR harus dimulai dari keterbukaan. Transparansi digital menjadi pintu masuk paling logis. Bayangkan jika setiap sidang DPR bisa diakses publik secara langsung, lengkap dengan arsip yang tersusun rapi dan ringkasan sederhana agar mudah dipahami. Rakyat tidak perlu menunggu potongan berita di televisi atau pernyataan sepihak anggota dewan. Dengan akses penuh, masyarakat dapat menilai sendiri siapa yang aktif, siapa yang absen, dan siapa yang benar-benar memperjuangkan isu rakyat.
Transparansi digital tidak sekadar soal siaran langsung. Lebih dari itu, perlu ada sistem yang menyajikan data sederhana seperti tingkat kehadiran, isi pidato, tanggapan terhadap aspirasi daerah, hingga rekam jejak pembahasan undang-undang. Dengan cara ini, politik tidak lagi menjadi ruang gelap yang hanya dimengerti oleh segelintir orang. Politik bisa hadir di ruang kelas mahasiswa, diskusi komunitas, hingga meja makan keluarga.
Masalah utama demokrasi kita bukan sekadar kurangnya peraturan, melainkan minimnya ruang partisipasi publik yang sungguh-sungguh. Setiap rancangan undang-undang seharusnya melewati periode konsultasi publik berbasis digital. Rakyat diberi kesempatan untuk membaca naskah akademik, memahami dampaknya, dan memberikan masukan.
Konsultasi publik bukan sekadar formalitas agar sebuah kebijakan tampak demokratis. Ia harus menjadi kanal yang hidup. Misalnya, saat ada pembahasan undang-undang perpajakan, platform digital bisa menyediakan ruang diskusi dengan kelompok pedagang kecil, petani, buruh, dan mahasiswa. Masukan mereka bisa dirangkum dan dipublikasikan agar DPR tidak bisa mengabaikan suara rakyat begitu saja.
Partisipasi publik yang kuat akan menekan kecenderungan oligarki politik. DPR tidak lagi bisa membuat keputusan semaunya karena rakyat memiliki akses langsung untuk mengoreksi. Dengan begitu, representasi bukan hanya simbolik, tetapi nyata.
Selama ini, rakyat hanya bisa menilai anggota DPR setiap lima tahun sekali melalui pemilu. Padahal, lima tahun terlalu lama untuk membiarkan wakil rakyat bekerja tanpa evaluasi. Sudah saatnya DPR menerapkan sistem kinerja terukur.