Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa Warisan Terindah Selain Sekedar Prestasi

25 Juli 2025   08:03 Diperbarui: 25 Juli 2025   08:03 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita mungkin tidak punya banyak uang, tidak punya gelar panjang, tapi kita punya nilai yang kita bisikkan lewat kebiasaan sehari-hari. Seperti caramu menyambut orang dengan senyum, atau caramu berlapang dada saat kehilangan. Semua itu bisa menjadi cerita yang akan terus dituturkan, bahkan setelah tubuh ini tiada.

Cinta bukan selalu hal besar. Justru dalam hal kecil, cinta paling terasa nyata. Membuatkan kopi tanpa diminta. Menunggu seseorang pulang tanpa mengeluh. Mendengarkan keluhan tanpa memberi solusi yang tidak diminta.

Ibuku adalah contoh dari cinta yang tidak banyak bicara. Tapi setiap kali aku pulang larut dan mendapati segelas teh hangat di meja, aku tahu ia sedang mengatakan, "Aku masih di sini." Aku membawa itu ke rumah tanggaku sendiri. Dan tanpa sadar, aku sedang mewariskan nilai yang tidak pernah diajarkan secara langsung.

Kita tidak perlu menunggu sukses besar untuk meninggalkan sesuatu yang berarti. Bahkan saat kita merasa belum jadi siapa-siapa, kita sedang meninggalkan jejak. Cara kita memperlakukan orang, menanggapi kegagalan, dan bangkit dari luka, semua itu menjadi bagian dari cerita yang akan diingat oleh orang-orang terdekat.

Cerita itu tidak perlu ditulis di buku best-seller. Cukup tinggal di dada mereka yang pernah merasa dicintai oleh kehadiranmu.

Aku percaya bahwa tubuh butuh diam. Seperti ponsel yang diisi ulang dalam waktu singkat tapi bisa menyala sepanjang hari, kita pun butuh ruang untuk hening. Dalam diam, kita bisa mendengar apa yang sesungguhnya penting. Kita bisa menepi sejenak, lalu bertanya dengan jujur: apakah selama ini aku hidup hanya untuk prestasi?

Di sore seperti ini, dengan sisa hujan dan anak-anak yang mulai masuk ke dalam rumah, aku tahu jawabannya. Tidak. Aku hidup untuk mencintai. Untuk meninggalkan kehangatan, bukan gelar. Untuk ditinggalkan dalam doa, bukan hanya dalam angka.

Pada akhirnya, setiap dari kita akan meninggalkan sesuatu. Bukan selalu berupa benda, bukan selalu berupa prestasi yang bisa diukur. Tapi mungkin, dalam cerita yang dituturkan cucumu suatu hari nanti, ada sepotong dari dirimu yang ia ceritakan dengan senyum kecil. Sebuah kalimat yang kamu ucapkan tanpa sadar. Sebuah pelukan yang kamu berikan saat dunia runtuh. Dan saat itu terjadi, kamu tahu bahwa warisanmu telah sampai, bahkan tanpa pernah kamu sadari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun