Cerita fiksi spiritual tentang remaja yang menemukan doa-doa anonim, membuka teka-teki takdir, waktu, dan makna terdalam harapan dalam keheningan.
Â
Malam turun perlahan, seakan menutup halaman terakhir hari itu dengan selimut perak bulan purnama. Di sudut kampus yang mulai lengang, Cahya berdiri termenung di depan mushola kecil. Udara dingin menyelinap di antara tiang-tiang kayu, meninggalkan gema lirih pada lantai keramik yang sedikit retak. Ia menunggu hujan yang tak jadi turun, namun hatinya tetap diguyur cemas. Sejak petang, pikirannya dipenuhi bayang tentang sesuatu yang belum ia mengerti, sejenis luka yang diam, menunggu diungkap.
Ia melangkah masuk, melepas sepatu, lalu duduk di saf paling belakang. Hening menggantung di langitlangit, sedangkan lampu neon redup berkedip pelan seperti menahan napas. Di sebelah rak mukena, selembar kertas terlipat dua tergeletak. Cahya menunduk, mengambilnya dengan hatihati, seperti memegang pecahan kaca rapuh.
Aku berharap besok masih ada alasan untuk tersenyum, walau sekecil bekas waktu di telapak tangan.
Tinta hitamnya agak pudar, seakan perjalanan air mata pernah mampir di sana. Katakata itu bergetar di dada Cahya, membuatnya kembali merasakan detak yang nyaris tenggelam oleh rutinitas kuliah dan tugas. Tanpa rencana, ia menyimpan kertas itu di saku jaket.
Keesokan malam, cahaya bulan lebih terang. Mushola tampak seperti pulau sunyi di lautan bangunan beton. Cahya tergerak datang lagi, entah karena rasa ingin tahu atau kebutuhan membungkam gaduh batin. Ia menemukan doa kedua terselip di bawah sajadah, tulisan tangan berbeda, lebih tergesa.
Andai waktu bisa menunggu sebentar, aku ingin sempat berkata maaf pada ayah sebelum semuanya terlambat.
Seperti malam sebelumnya, ia membawa pulang doa itu. Seolah ada janji tak terucap antara dirinya dan katakata sunyi para penulis anonim.
Harihari berikutnya, kumpulan doa makin bertambah. Ada yang menanyakan rahasia rezeki, ada yang meminta keberanian bicara cinta, ada juga yang memohon agar lulus tanpa mengulang mata kuliah statistik. Namun di antara untaian harap itu, Cahya merasakan tali gaib yang menghubungkan satu dengan lainnya. Ia menyalin setiap doa ke dalam buku catatan bergaris, menuliskan tanggal, bahkan menempelkan daun kering sebagai penanda halaman. Saat membacanya ulang, ia mendengar gema pelan: satu kisah besar mulai terbentuk, disatukan oleh rasa tertunda para pendoa.