Cerpen distopia reflektif tentang bahaya menghapus luka demi ketenangan buatan. Sebuah kisah sunyi tentang ingatan, identitas, dan kemanusiaan.Â
Suara kendaraan berdesing di kejauhan, menggema seperti napas logam yang tersangkut di antara deret bangunan abuabu. Udara pagi terasa kaku, seakan seluruh kota menahan diri untuk tidak bergerak terburuburu. Aku berjalan di trotoar menuju Balai Kejernihan, pusat upacara penghapusan memori luka di Wilayah Lupa. Setiap langkah terdengar bergaung di kepala, menyatu dengan kecemasan halus yang merayap di dasar dada.
Poster raksasa berwarna pastel menyambut di gerbang utama. Tulisan pada poster menyatakan bahwa semua rasa pahit hanyalah noda yang layak dihapus. Kalimat itu terpatri dengan huruf tipis, namun rasanya menekan keras di bawah kulit. Aku menyalinnya ke sudut jurnal saku, karena menulis menjadi satusatunya cara memastikan diriku masih memiliki ingatan pribadi yang belum tersaring.
Balai Kejernihan berdiri menyerupai katedral putih. Langitlangitnya tinggi, lantainya mengilap, dan tidak ada ornamen yang memanjakan mata. Hanya cahaya lampu putih yang menyingkirkan bayangbayang. Aroma antiseptik bertemu wangi plastik bunga tiruan, menghasilkan campuran bau rumah sakit dan ruang duka. Petugas berseragam biru mendatangi dengan langkah senyap, lalu mengajukan permintaan data.
Ia bertanya nama, tahun lahir, dan luka utama. Tanpa menatap wajahnya, aku menyebutkan tiga komponen itu seperti kata sandi: Aruna, enam belas Desember, kehilangan ibu dalam kebakaran pabrik. Bibir terasa kering tetapi kalimat sudah terlanjur keluar. Petugas mencatat, menyerahkan kartu elektronik berhias ikon tong sampah, lalu memberi isyarat agar aku mengikuti koridor.
Lorong memanjang hening, seolah menelan suara langkah. Pada dinding, layar datar memutar video pendek yang menampilkan manusia setelah prosedur. Wajah mereka tersenyum sempurna, gerak mereka ringan, dan mata mereka kosong tak menyimpan bayangan. Tayangan itu mengingatkanku pada frasa kota yang tenang tapi kosong yang kutulis di laporan riset semalam.
Lorong membawa ke Aula Arsip, ruangan melingkar dengan kursi putih tertata rapi. Setiap kursi menghadap altar digital. Di altar, lensa hitam setinggi dada menunggu. Aku duduk, menggenggam jurnal. Instruksi mekanik mengalun dari pengeras suara agar hadirin memejamkan mata, memanggil kenangan pahit, kemudian menyentuh ikon hapus pada kartu saat siap.
Kutatup mata dan seketika warna oranye kebakaran menembus gelap. Suara retakan kayu, jerit ibu, panas yang menampar kulit, semuanya kembali. Ingatan itu mencengkeram lebih kuat ketika kuperbolehkan tumbuh. Kubiarkan sejenak, lalu kubuka mata untuk menulis kalimat pendek pada halaman baru: Jika luka dihapus, di mana cerita akan berlanjut. Ujung pena menggores kertas, menorehkan keteguhan yang perlahan menular ke seluruh tubuh.
Perempuan muda di kursi samping mencuri pandang ke jurnal. Gerak matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang terbungkam oleh tatib ruangan. Ia berbisik hampir tanpa suara, menanyakan alasan menulis saat semua orang diminta menghapus. Aku menjawab pelan bahwa tulisan ini akan menjadi pengingat bahwa kami pernah merasa, kalimat yang lahir sebagai gema keyakinan sunyi. Ia menunduk, tampak menimbang katakata yang tak sempat diucap.
Sekilas, lampu altar berkedip, menandakan sistem menunggu konfirmasi. Perempuan itu berdiri, menatap lensa, namun tidak menyentuh ikon hapus. Alarm kuning menyala di sudut langitlangit. Petugas tambahan memasuki aula, wajah mereka tetap tenang Namun sorot mata mereka menggigil waspada.
Lelaki tua di barisan belakang bangkit. Suaranya retak tetapi mantap, menyatakan bahwa ingatan pahit adalah peta pulang bagi jiwa. Kalimatnya bergetar di ruangan bergema dan mematahkan kedap sunyi. Lensa hitam berpaling, sensor mendeteksi anomali, sirene merah bernyanyi lirih namun terus meninggi. Katakata lain mengikuti; seorang remaja menyebut luka sebagai penjaga batas, seorang ibu muda berseru bahwa rasa pahit mengajari belas kasih. Aula yang semula steril dipenuhi gemuruh hati yang menolak hapus.