Mengapa hidup modern membuat kita merasa waktu selalu kurang. Temukan cara sederhana menata kembali ritme agar hidup terasa cukup.
Pagi ini cahaya matahari menelusup lembut melalui bilah jendela, menyingkap debu tipis di udara. Suara burung masih samar, kopi pun belum mengepulkan aroma. Dalam ketenangan yang seharusnya memberi ruang bernapas, pikiran saya justru melompat ke daftar tugas, tenggat, dan notifikasi yang mungkin sudah menunggu. Pertanyaan lama muncul lagi: mengapa hari baru saja dimulai, tetapi rasanya saya sudah tertinggal?
Pertanyaan itu terasa akrab di telinga banyak orang berusia dua puluh lima sampai tiga puluh lima---mereka yang hidup di antara ambisi diri dan desakan realitas. Kita mengisi kalendar dengan rapat daring, memperpanjang jam kerja demi reputasi, lalu menutup malam dengan rasa bersalah karena belum menelepon keluarga. Seolah-olah kita sedang menari mengikuti musik yang terus dipercepat, tetapi kaki kita belum sempat menyesuaikan langkah.
Jika diam sebentar, kita mungkin menyadari bahwa yang hilang bukan jumlah jam, melainkan ritme yang pernah menata keseharian. Ritme yang dulu hadir secara alami: fajar untuk memulai, siang untuk bergerak, senja untuk pulang, malam untuk bernafas lega. Kini batas antar waktu kabur. Rapat bisa dimulai tujuh pagi, pesan kantor masuk sebelas malam, dan akhir pekan berubah menjadi tumpukan pekerjaan yang "hampir selesai."
Mengapa ritme itu retak? Salah satunya kecepatan teknologi. Sekali ketuk layar, kita memesan makan, membayar tagihan, bahkan menghadiri kelas daring dalam hitungan menit. Kemudahan ini menciptakan ilusi bahwa kita bisa melakukan lebih banyak---lalu kita memang mencoba melakukan lebih banyak. Tetapi setiap tambahan aktivitas menyita sedikit oksigen mental, membuat napas hidup lebih pendek. Pada akhirnya, kecepatan yang memudahkan juga membawa kita pada perlombaan sunyi melawan waktu.
Perlombaan itu perlahan mengikis ketenangan batin. Kita lelah bukan hanya karena beban fisik, melainkan karena pikiran terus waspada. Ada rasa takut tertinggal peluang, khawatir dikira tidak produktif, gelisah jika tidak memeriksa gawai dalam beberapa menit. Kelelahan semacam ini tidak terlihat di cermin, tetapi terasa di dada. Ia membuat jam sembilan malam tampak terlalu dini untuk berhenti bekerja, dan jam enam pagi terlampau telat untuk mulai berlari.
Saat jeda terasa mewah, kita rindu kedalaman: momen sederhana ketika waktu tidak terpecah antara layar dan kenyataan. Duduk di beranda sambil melihat awan, berbincang tanpa agenda, atau menulis catatan harian yang tidak perlu diunggah. Momen semacam itu mungkin tidak mempertebal portofolio, tetapi ia menebalkan rasa cukup. Rasa cukup inilah yang sering hilang ketika hidup diukur semata dari pencapaian.
Bagaimana menemukan kembali ritme yang menenteramkan? Jawabannya jarang rvolutioner; ia justru lahir dari kebiasaan kecil yang diulang dengan kesadaran penuh. Misalnya, memulai pagi dengan satu aktivitas tanpa gawai---membaca beberapa halaman buku, menyiapkan sarapan perlahan, atau sekadar mengamati cahaya bergerak di dinding. Kesengajaan ini menandai kepada diri sendiri bahwa hari tidak dikuasai tenggat, melainkan dimulai oleh kesadaran.
Langkah berikutnya adalah merawat blok waktu utuh. Sediakan rentang tiga puluh menit hingga satu jam untuk satu tugas tanpa distraksi. Tutup notifikasi, singkirkan tab tidak perlu, berikan perhatian tunggal. Aneh rasanya di era multi-tasking, tetapi keutuhan perhatian sering lebih berharga dibanding jumlah menit. Kita mungkin menyelesaikan lebih sedikit hal, namun hasilnya memuaskan dan otak tidak terpecah.