Mohon tunggu...
Subagiyo Rachmat
Subagiyo Rachmat Mohon Tunggu... Freelancer - ◇ Menulis untuk kebaikan (titik!)

(SR Ways) - Kita mesti peduli dengan sekeliling kita dan bisa berbagi sesuai kapasitas, kadar dan kemampuan masing-masing sebagai bagian dari masyarakat beradab.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menanti Munculnya Para Tokoh Pembaharu Pendidikan Abad 21

3 Agustus 2020   14:30 Diperbarui: 3 Agustus 2020   14:32 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita membutuhkan tokoh-tokoh pembaharu Pendidikan Nasional abad 21 untuk melanjutkan estafet perjuangan Para tokoh Pembaharu Pendidikan Abad 20 yang telah berhasil membangun pondasi kependidikan di Indonesia, yang kemudian berkembang mewarnai dunia pendidikan nasional- menjaga moral, agama dan budaya bangsa.

Masa depan bangsa 20-50 tahun kedepan ada pada generasi belia yang kini ada di sekolah dasar dan menengah, oleh karenanya jika pendidikan dasar dan menengah kita tidak dibenahi, sudah pasti adalah ancaman bagi masa depan bangsa kita- masa depan bangsa Indonesia. Pendidikan adalah investasi masa depan dan generasi muda adalah aset masa depan bangsa yang harus menjadi prioritas perhatian negara.

Abad 21 adalah eranya generasi Y, Z dan Alpha. Generasi Y (Generasi lahir 1981-1994) adalah generasi milenial pertama- mereka sudah sangat melek teknologi. Generasi Z yaitu anak-anak yang lahir 1995-2010 mereka adalah generasi yang dikatakan sangat tergantung pada teknologi, gadget dan media sosial. Kini sudah muncul lagi Generasi Alpha yaitu anak-anak yang lahir 2011- sekarang, dimana mereka sudah sangat familiar dengan gadget sejak dini.

Tantangan Dunia Pendidikan masa depan adalah bagaimana menyiapkan generasi yang sudah sedemikian akrab dan tinggi ketergantungannya pada teknologi sejak dini dengan kurikulum pendidikan dengan bobot pengembangan soft skillnya, budi pekerti dan wawasan kebangsaan memadai agar mereka bisa berkembang dan mengembangkan dirinya secara optimal sesuai bakat kepemimpinan, empati, kreatifitas dan aspek-aspek sosial lain dalam dirinya yang menjadikan mereka punya daya juang, daya tahan dan adaptasi terhadap lingkungan sosialnya, sehingga mereka menjadi generasi yang kompetitif secara global. Kepemimpinan Nasional mendatang ada pada generasi ini.

Tugas negara adalah menyiapkan mereka agar menjadi generasi terdidik,trampil, beradab, beriman dan bertakwa, dan dalam konteks globalisasi harus pula disiapkan generasi yang berdaya saing global dengan tetap membawa identitas keindonesiaan. Maka sudah seharusnya negara bisa menyiapkan segala upaya dengan sumber daya yang direncanaan dengan baik dengan tahapan implementasi yang realistis, bukan dengan cara-cara dan upaya instant.

Kurikulum pendidikan harus didesain secara komprehensif agar mampu memadukan secara baik antara kebutuhan pengembangan soft skill dan hard skill anak-anak didik. Tak hanya hard skill-nya saja yang menjadi bobot besar prioritasnya, kurikulum mesti diarahkan untuk membentuk anak-anak didik menjadi manusia utuh, yang tak bisa disederhanakan seolah hanya menjadi sebuah konsep link & match saja. Kurikulum tidak boleh menjadi sebuah proses dehumanisasi.

Bagaimana Pendidikan Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003?
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untukk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 

Sedangkan tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Bagaimana Daya Saing Global Pendidikan Dasar dan Menengah Kita?
Menurut  survei Programme for International Student Assessment (PISA), yang diadakan setiap 3 tahun sekali terhadap remaja usia 15 tahun untuk mengukur kemampuan belajar dalam Membaca, Sains dan Matematika anak-anak di negara-negara yang tergabung  dalam OECD ( Organisastion for Economic Co-operation and Development) melalui serangkaian test. Menurut data OECD, dari ketiga kategori kompetensi, skor mutlak Indonesia selalu berada di bawah rata-rata, dan jika dibandingkan negara-negara lain termasuk dengan negara-negara asia, Indonesia masih tertinggal.

Berdasakan Survei PISA 2009 Indonesia berada pada peringkat ke-57 dari 65 negara. Tahun  2012 Indonesia peringkat ke-64 dari 65 negara. 2015, Indonesia peringkat ke-64 dari 72 negara. Dan 2018 Indonesia pada peringkat ke-74 dari 79 negara.

Pada Survei PISA tahun 2018 misalnya, dalam kategori Sains, Indonesia memperoleh skor 396 di bawah rata-rata skor OECD sebesar 489. Untuk Matematika, memperoleh  skor 379 dibanding rata-rata OECD 489.  Dan untuk kategori Membaca dengan skor 371 jauh dibawah rata-rata OECD 489. Indonesia sudah berpartisipasi dalam survei OECD sejak tahun 2000, tetapi nilai kemampuan siswa tak pernah berada di atas rata-rata. Pada tahun 2000, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 41 negara.

Apa Yang terjadi dengan Sistem Pendidikan Kita?
Kurikulum dan metode belajar kita belum menganut sistem HOTS (Higher Order Thinking Skills). Indonesia masih menggunakan metode Lower-Medium Order Thinking. Menurut para ahli dan pengamat pendidikan, kurikulum Pendidikan dasar dan menengah di Indonesia walau sudah berkali-kali ganti kurikulum, bahkan ada sebuah stereotype di masyarakat “ Ganti Menteri ganti ganti kurikulum”, selalu saja belum membuat anak-anak didik mempunyai daya saing global berdasarkan survey PISA. 

Kurikulum kita dikatakan belum menganut sistem HOTS,yaitu sebuah turunan metode belajar yang dicetuskan oleh Benjamin Bloom lewat teori “Taksonomi Bloom” 1956 sebuah ide sistem untuk merespon sistem pendidikan yang masih berbasis hafalan- yang menurutnya, menghafal adalah tingkatan terendah dari kemampuan berpikir, kemudian dibuatlah hierarki kemampuan berpikir yang disebut Taksonomi Bloom.

Menghafal, Memahami, dan Mengaplikasikan masuk pada kategori Lower-Order Thinking Skills (LOTS). Berdasarkan survei PISA kemampuan siswa-siswi di Indonesia masih berada di kategori LOTS ini. Sementara tiga level diatasnya adalah analisis, evaluasi, dan penciptaan yag disebut kategori HOTS. Kurikulum di Indonesia masih berbasis LOTS, sehingga membuat daya saing siswa Indonesia selalu tertinggal dari negara-negara lain sesuai survei OECD.

Pendidikan di Indonesia dalam Konteks Politik dan Pemerintahan. 
Sudah saatnya Indonesia meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ingin mencapai hasil-hasil melalui proses instant, tanpa melalui proses matang melalui tahapan-tahapan yang realistis. 

Konsep dan diadakannya Ujian nasional (UN), konon mengacu pada HOTS (Higher Order Thinking Skills) tetapi tanpa didukung sebuah kurikulum berbasis HOTS, sehingga seolah UN dianggap sebagai sebuah langkah instant tanpa proses berbasis kurikulum- Hal ini menjadikan siswa-siswi Indonesia selalu kesulitan ketika mengerjakan soal-soal yang mengacu pada konsep HOTS, seperti yang dilakukan pada survei OECD. Survei OECD berikutnya akan dilakukan pada 2021, kemudian 2024, dan seterusnya setiap tiga tahun. 

Jika kita tidak melakukan perubahan-perubahan terhadap kurikulum pendidikan dasar dan menangah dengan tahapan-tahapan yang realistis maka selamanya daya saing generasi belia kita secara global akan selalu tertinggal.

Semoga Negara kita, Pemerintahan saat ini, dan legislatif memprioritaskan upaya meningkatkan kemampuan daya saing anak-anak didik kita, melalui proses dan perubahan kurikulum yang benar-benar disiapkan, dengan tahapan yang realistis, tidak terburu-buru (jawa=kesusu) dan instant seperti kebiasaan kita selama ini.

Harapan kepada Pak Jokowi dan Mas Nadiem yang kini sedang berada di pemerintahan, agar kegelisahan atas ketertinggalan dunia pendidikan kita, tidak direspon dengan menempuh cara-cara instan seolah bisa cepat melihat hasilnya,  hal ini yang selalu membuat kita gagal- dengan ketidaksabaran kita dalam melakukan proses yang realistis untuk mencapai tujuan Pendidikan, salah satunya menjadikan siswa-siswi kita punya daya saing secara global.

Tahun 1970-80an kita masih banyak mengekspor guru-guru dan dosen terbaik ke negara tetangga kita untuk mengajar dan membantu membuat kurikulum-kurikulum pendidikan, mereka bersabar 20-30 tahun, akhirnya mereka meninggalkan kita. Kini saatnya kita mesti juga mau bersabar untuk melakukan perbaikan-perbaikan melalui tahapan yang realistis, ilmiah dan terukur, demi anak-anak didik kita, generasi masa depan yang merupakan aset terbesar dan harapan bangsa.

Pahlawan Nasional dan Tokoh Pambaharu Pendidikan Abad 20.
Dekade pertama sampai ketiga abad 20 merupakan tonggak besar bagi bangsa Indonesia pada dunia kependidikan. Dalam suasana kemiskinan dan kebodohan masyarakat bangsa terjajah- telah lahir tokoh-tokoh besar yang begitu berempati pada masyarakat- pada anak-anak negeri dan pribumi agar bisa keluar dari kebodohan melalui kesempatan mendapatkan pendidikan.  

Dewi Sartika pada 1904 mendirikan sekolah untuk perempuan di Pendopo Kabupaten Bandung, yang kemudian berkembang di Jawa barat, dan pada 1929, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi. Kartini pada 1912 di Semarang mendirikan Sekolah Kartini, sekolah khusus untuk perempuan. 

Kemudian kita mengenal 3 tokoh besar lain yang kemudian apa yang dirintisnya menjadi pondasi pendidikan di Indonesia, dan berkembang mewarnai dunia kependidikan di Indonesia, menjaga moral, agama dan budaya bangsa- ketiganya adalah KH. Ahmad Dahlan (merintis sekolah modern pada 1911, kemudian mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 1912), KH. Hasyim Asy’ari ( mendirikan Pesantren Tebu Ireng pada 1899, kemudian NU pada 1926) dan Ki Hadjar Dewantara, mendirikan sekolah bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa kemudian dikenal dengan nama Taman Siswa pada 3 Juli 1922.

KH. A Dahlan, KH Hasyim Asy’ari dan Ki Hadjar Dewantara adalah tokoh-tokoh yang paripurna, mereka adalah pejuang bangsa, pembaharu pendidikan, pendidik, tokoh agama dan budaya yang peduli pada masyarakat lemah dan bangsanya. Mereka bersama Kartini dan Dewi Sartika- kelima tokoh ini dianugerahi Sebagai Pahlawan Nasional, tokoh Pembaharu Pendidikan abad 20.

Kini, kita benar-benar membutuhkan tokoh-tokoh pembaharu untuk Pendidikan Nasional Abad 21, dengan segala tantangan perubahan dalam era teknologi dan globalisasi tanpa kehilangan atribut keindonesiaannya dengan pondasi kependidikan yang telah dirintis oleh Para Tokoh Pendidikan Nasional abad 20.

Wallahu A’lam Bishawab. (SR-Swasta, Tinggal Di Jakarta)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun