"kenapa aku terlalu lugu untuk tetap berada dalam kerinduan, sedangkan sang rindu dengan kejam menyiksa perasaan".
Di sepertiga malam itu, aku lalu disadarkan oleh secangkir kopi bahwa riak-riak kerinduan selalu memasung pikiran dan hati. Â Seandainya rindu itu adalah sosok, aku pasti menculiknya diam-diam, lalu tidur bersamanya, sambil meneguk secangkir kopi yang tersisa kemarin dari mulut setangkai mawar yang telah pergi tanpa pamit".
" ....sambil  meneguk secangkir kopi yang tersisa kemarin dari mulut setangkai mawar yang telah pergi tanpa pamit"
Bukan ku masih menaruh harap agar kau kembali dalam dekapanku lagi, sekali lagi bukan itu!!! jadi janganlah kau tinggi hati hanya saja aku yakin tak semua perbuatan kejam harus dibalas dengan hal serupa, mendoakanmu bukan hanya karena kaulah orang yang saat ini masih sangat kurindukan, melainkan lebih dari itu. Saat mendoakanmu aku menemukan kedamaian yang memang kubutuhkan untuk mampu tegak berdiri menerima kenyataan bahwa kau telah pergi dan hanya meninggalkan jejak-jejak impian masa lalu yang pernah kita rangkai bersama.
"Saat mendoakanmu aku menemukan kedamaian yang memang ku butuhkan untuk tegak berdiri menerima kenyataan..."
Bukankah sebait doamu adalah rindu akan kedamaian? Jika secangkir kopi membuat rinduku menjadi candu, dan sebait doamu membuatmu mampu tegak berdiri,,,, percayalah, doamu diingat Dia yang memilikimu, sebab ada yang lebih baik untuk diperjuangkanmu, daripada sebait puisi yang  menciumi bibir banyak orang.
Sore ini, setelah aku memungut doa di pojok kamarku, aku belajar dari dedaunan yang jatuh di ladang hati, bahwa mengikhlaskan adalah cara terbaik mencintai yang telah pergi, dan jarak adalah cara waktu mempertemukan kita dengan rindu yang terus menggaduh.
Clausura, Maret 2021