Hujan mulai turun dengan riang, seolah ikut merayakan ketakutannya. Ia membawa serta bongkahan es berukuran batu kerikil yang menghujam tubuhnya yang telah terbaring di atas bumi. Kilatan demi kilatan menghiasi gelapnya malam, guntur menggelegar bak kembang api perayaan pesta tahun baru.
Malam semakin gulita, tinggallah Hari seorang diri berselimut kegelapan yang menutup akalnya. Ia terus saja meracau, menyahut satu per satu suara dan bayangan hitam yang berkelebat di sekitarnya. Sesekali Ia melempar daun salak yang sudah mengering, mencoba mengusir bayangan itu dengan rapalan doa yang setiap hari Ia hafalkan.
Keesokan harinya seorang petani salak menemukan Hari tergeletak di tengah kebun dengan mata terbelalak. Bau anyir tercium beberapa meter sebelum Hari ditemukan. Tatapannya kosong, seperti setengah jiwanya melayang. Lengannya penuh luka  sayatan. Telapak kakinya penuh dengan duri yang tertancap bagai gigi sikat baja.
Entah apa yang sebenarnya terjadi pada Hari. Apakah benar adanya Ia berseteru melawan makhluk tak kasat mata hingga tubuhnya penuh dengan luka. Atau semua hanya delusi dan halusinasi Hari karena trauma masa lalu tentang sebuah kegelapan yang menelannya ketika bermain petak umpet.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI