Mohon tunggu...
Sri Suharti
Sri Suharti Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga

Ibu dari dua anak yang menyukai dunia fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Teror Kegelapan yang Mengintai

7 Oktober 2025   08:06 Diperbarui: 7 Oktober 2025   08:06 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Hutan Gelap (Sumber: Canva) 

Hari -- pekerja kantoran -- melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Ia menghela napas panjang dengan raut wajah gusar. Waktu menunjukkan pukul 18:00, namun pekerjaannya tak kunjung selesai. Itu artinya Ia akan pulang sedikit larut dari biasanya.


Suara guntur begitu hebat bersahut-sahutan di langit yang mulai penuh dengan kepungan awan hitam bearak. Rintik-rintik hujan mulai turun menjelma menjadi kabut yang begitu pekat hingga jarak pandang tersisa beberapa meter saja. Hari dan beberapa rekannya memilih menunggu di depan kantor hingga hujan setidaknya sedikit reda.


Setelah menunggu kurang lebih setengah jam, hujan pun mulai mereda,tersisa rintik-rintik halus namun membasahi. Satu per satu teman kantor memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sebelum hari semakin larut, termasuk dirinya. Ia membalut tubuhnya menggunakan jas hujan dan mulai mengulir gas motor bututnya membelah malam dengan nyala lampu kuning alakadarnya.


Semoga, 30 menit terasa begitu cepat. Aku tak mau mati dalam kegelapan, -- gumamnya dalam hati.


Bukan tanpa sebab, Hari memiliki pengalaman buruk tentang kegelapan. Di mana saat usianya masih 8 tahun, Ia terjebak di kamar mandi sekolah hingga malam hari. Permainan petak umpet yang menyenangkan berubah menjadi petaka bagi dirinya. Ia berteriak dan meraung sekuat tenaga namun tak ada seorang pun yang mendengar suaranya.


Bug!


Sepeda motornya tiba-tiba saja mogok saat menerobos genangan air di dekat kebun salak. Ia menggela napas kesal, kenapa motor butut itu harus mati di malam hari. Hal itu membawa ingatan buruknya tentang kegelapan. Ia membuka jol motor dan mulai memperbaiki motornya dengan alat seadanya. Beruntung Ia berada tepat di bawah penerangan jalan.


Ayo bermain bersamaku...


Hari sontak menoleh ke belakang -- kebun salak. Ia mendengar bisikan lirih dari dalam sana yang membuat bulu kuduknya berdiri. Ia berusaha mengabaikannya dan terus mengutak-atik sepeda motornya.


Hom-pim-pah alaiyum gambreng!


Suara itu semakin ramai terdengar, seperti kerumunan anak yang sedang bermain -- persis seperti saat dulu Ia bermain petak umpet. Aroma biji salak yang tengah dibakar menguar ke indera penciumannya diiringi oleh suara ramai yang semakin kuat. Keringat mulai bercucuran di kening Hari meski rintik hujan masih setia membasahi jas hujannya. Suara itu, datang kembali dan terdengar lebih jelas. Seperti suara teman lama yang ingin bersua.


Hariiii, bersembunyi yang benar agar tak ketahuan olehku...


Bam!


Hari terperanjat. Jalan mendadak gelap gulita, lampu penerangan mati. Tak ada penerangan sama sekali. Tersisa lampu para pengendara yang lewat, mereka seolah terburu-terburu. Hari berusaha melambaikan tangan pada lampu-lampu yang berlalu lalang, namun tak ada satupun yang menepi. Hanya klakson panjang yang Ia dapatkan.


Hariii....ketangkap kau!


Bisikan itu jelas terdengar di telinga kirinya, disertai tepukan di bahunya -- terasa begitu dingin dan kaku. Tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan melanda dirinya. Ia pun memberanikan diri menoleh ke sisi kiri. Wajah pucat tersenyum meringis hingga tampak gigi hitamnya, rambutnya teruai panjang hingga terjuntai ke tanah.


"Aaaaaaa.....tolooong!!!" teriak Hari histeris.


Ia berlari sekencang yang Ia mampu, memasuki kebun salak yang Ia yakini itu adalah rumah penduduk. Suara demi suara semakin membabi buta menelusup ke telinganya. Ia berteriak sekencang mungkin, namun mulutnya terasa tanpa suara.


Kau ketangkap Hari...kau harus serahkan jari manismu sekarang sebagai jamuan makan malam kita.


"Tidak! Kalian bukan temanku! Jariku manisku bukan untuk jamuan!" teriaknya bergetar penuh ketakutan.


Penglihatannya seolah tertutup oleh bayangan hitam yang mengikutinya. Ia melawan sekuat tenaga dengan kedua tangan dan kakinya -- bak beladiri di area bertanding. Napasnya terengah-engah, keringat mengucur deras di setiap lekuk tubuhnya. Ia merobek jas hujannya berharap mampu meredakan keringat berlebih pada tubuhnya.
Ia terus berteriak mesti tak ada satupun manusia yang mendengar. Tangannya sibuk melawan pohon salak yang terus menguntitnya. Bayangan hitam yang menutup penglihatannya membuat tenaganya terkuras tanpa sisa. Ia terduduk dengan terus saja meracau.


Kamu bodoh, Hari. Aku lah temanmu, aku akan terus bersamamu ke manapun kau pergi. Ayo siapkan lekas siapkan jamuan makan malam. Kami sudah lapar.


"Kamu yang bodoh! Dasar penguntit!" ucap Hari yang mulai meracau.


Kali ini Hari melepas sepatu yang Ia kenakan, lalu melempar pada bayangan hitam yang duduk di depannya. Bayangan yang sedari tadi menertawainya tanpa henti. Bayangan yang selalu mengajaknya tinggal di sini.


Ia terduduk lesu dengan sisa tenaganya. Ia mendongakkan kepalanya, menatap langit -- yang sedikit tertutup rimbunnya daun salak. Kilat bergantian menyambar, seperti kembang api pertama yang pernah Ia lihat. Bahunya mendadak berat hingga tubuhnya setengah berbaring.


"Buang tanganmu dari bahuku, itu membuatku-."


Ia menoleh ke arah kanannya -- di mana bahunya terasa berat. Ia dapati makhluk besar, berwana hitam dengan mata membelalak merah, memuntahkan darah bercampur belatung ke bahunya.


"Aaaaaa!! Pergi! Pergi!" teriaknya lagi.


Ia merobek baju kerjanya, melepas paksa dari tubuhnya hingga bahunya sedikit tergores kuku yang belum sempat Ia rapikan. Kakinya berlari lagi hingga jauh ke dalam kebun salak. Gelap, berisik, penuh duri. Hari menangis meraung-raung tanpa berhenti berlari. Tak peduli kakinya tanpa alas, terkena duri-duri kecil nan tajam.


Hahahahahaha...


Tawa bersahut-sahutan seolah menertawai Hari yang mulai lemas di tengah kebun. Duduk bersimpuh, tak mampu lagi berlari karena kakinya terasa nyeri kanan-kiri. Ia memohon seraya meraung, namun suara tawa dan bisikan itu justru semakin gila terdengar olehnya.


Tangannya mulai aktif memukul kepala berulang kali, berharap suara itu tak datang lagi. Ia juga mencabik-cabik telinganya, menyumpal dengan tanah sebanyak yang Ia bisa. Tubuhnya terhuyung saat mencoba berdiri, hingga terkapar lemas tanpa daya.


Hujan mulai turun dengan riang, seolah ikut merayakan ketakutannya. Ia membawa serta bongkahan es berukuran batu kerikil yang menghujam tubuhnya yang telah terbaring di atas bumi. Kilatan demi kilatan menghiasi gelapnya malam, guntur menggelegar bak kembang api perayaan pesta tahun baru.


Malam semakin gulita, tinggallah Hari seorang diri berselimut kegelapan yang menutup akalnya. Ia terus saja meracau, menyahut satu per satu suara dan bayangan hitam yang berkelebat di sekitarnya. Sesekali Ia melempar daun salak yang sudah mengering, mencoba mengusir bayangan itu dengan rapalan doa yang setiap hari Ia hafalkan.


Keesokan harinya seorang petani salak menemukan Hari tergeletak di tengah kebun dengan mata terbelalak. Bau anyir tercium beberapa meter sebelum Hari ditemukan. Tatapannya kosong, seperti setengah jiwanya melayang. Lengannya penuh luka  sayatan. Telapak kakinya penuh dengan duri yang tertancap bagai gigi sikat baja.


Entah apa yang sebenarnya terjadi pada Hari. Apakah benar adanya Ia berseteru melawan makhluk tak kasat mata hingga tubuhnya penuh dengan luka. Atau semua hanya delusi dan halusinasi Hari karena trauma masa lalu tentang sebuah kegelapan yang menelannya ketika bermain petak umpet.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun