Kamu bodoh, Hari. Aku lah temanmu, aku akan terus bersamamu ke manapun kau pergi. Ayo siapkan lekas siapkan jamuan makan malam. Kami sudah lapar.
"Kamu yang bodoh! Dasar penguntit!" ucap Hari yang mulai meracau.
Kali ini Hari melepas sepatu yang Ia kenakan, lalu melempar pada bayangan hitam yang duduk di depannya. Bayangan yang sedari tadi menertawainya tanpa henti. Bayangan yang selalu mengajaknya tinggal di sini.
Ia terduduk lesu dengan sisa tenaganya. Ia mendongakkan kepalanya, menatap langit -- yang sedikit tertutup rimbunnya daun salak. Kilat bergantian menyambar, seperti kembang api pertama yang pernah Ia lihat. Bahunya mendadak berat hingga tubuhnya setengah berbaring.
"Buang tanganmu dari bahuku, itu membuatku-."
Ia menoleh ke arah kanannya -- di mana bahunya terasa berat. Ia dapati makhluk besar, berwana hitam dengan mata membelalak merah, memuntahkan darah bercampur belatung ke bahunya.
"Aaaaaa!! Pergi! Pergi!" teriaknya lagi.
Ia merobek baju kerjanya, melepas paksa dari tubuhnya hingga bahunya sedikit tergores kuku yang belum sempat Ia rapikan. Kakinya berlari lagi hingga jauh ke dalam kebun salak. Gelap, berisik, penuh duri. Hari menangis meraung-raung tanpa berhenti berlari. Tak peduli kakinya tanpa alas, terkena duri-duri kecil nan tajam.
Hahahahahaha...
Tawa bersahut-sahutan seolah menertawai Hari yang mulai lemas di tengah kebun. Duduk bersimpuh, tak mampu lagi berlari karena kakinya terasa nyeri kanan-kiri. Ia memohon seraya meraung, namun suara tawa dan bisikan itu justru semakin gila terdengar olehnya.
Tangannya mulai aktif memukul kepala berulang kali, berharap suara itu tak datang lagi. Ia juga mencabik-cabik telinganya, menyumpal dengan tanah sebanyak yang Ia bisa. Tubuhnya terhuyung saat mencoba berdiri, hingga terkapar lemas tanpa daya.