Mohon tunggu...
Lardianto Budhi
Lardianto Budhi Mohon Tunggu... Menulis itu Membahagiakan

Guru yang suka menulis,buat film,dan bermain gamelan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Puisi yang Dibaca Sukmawati dan Nasib "Bebrayan" Sosial Kita

4 April 2018   17:18 Diperbarui: 4 April 2018   21:28 3349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seniman lebih bersandar pada apa yang indah, bukan apa yang benar dalam memaknai realitas. Setiap keindahan adalah pantulan cahaya ke-Tuhan-an, sedangkan kebenaran terlalu ringkih dihadapan subyektifitas.

Puisi Sukmawati dalam mata pandang karya sastra tidak ada masalah, artinya andaikan Sukmawati membuat dan membacakan puisi itu tidak dilandasi oleh kebencian pada pihak lain dan pembenaran terhadap diri sendiri, karya puisi itu berdiri bebas sebagai buah karya seni. Kita sangat sulit mendapat klarifikasi soal ini, kecuali si pembaca puisi tadi punya itikad untuk jujur mengkomunikasikannya.

Hanya saja saya berpendapat bahwa Sukmawati tidak tepat melihat momentum. Muatan inti nilai puisi Sukmawati berada pada koordinat ruang yang akhirnya mengusik heterogenitas masyarakat dengan seolah-olah menghadapkan agama dengan budaya.

Kita merasakan suhu psikologi sosial masyarakat kita yang menghangat akibat "digoreng" kepentingan politik menjelang pesta demokrasi beberapa waktu ke depan.

Melihat hal tersebut, akan lebih baik jika setiap orang terlebih tokoh masyarakat mengedepankan sikap kenegarawanan dengan selalu bersabar/menahan diri untuk senantiasa meletakkan rasa keamanan, ketertiban dan persatuan nasional sebagai prioritas utama. 

Sukmawati tidak boleh menuding pihak yang mempersoalkan puisinya sebagai kelompok yang tak paham seni dan doif dalam urusan estetika.

Kalau karya seni telah disengajakan untuk diapresiasi secara luas, artinya si seniman dan pengkarya seni sudah siap dengan segala hal yang akan timbul dari karya seni itu, termasuk kontroversi. Mata pandang rakyat tidak boleh dipaksa sebagaimana mata pandang seorang seniman karena laku hidup, pengalaman dan proses belajar tiap manusia berbeda.

Saya tidak berniat menggurui Sukmawati maupun tokoh-tokoh nasional itu. Saya sangat tahu diri bahwa saya bukan siapa-siapa, baik secara kualifikasi personal maupun status sosial. Saya bukan siapa-siapa. 

Tapi, saya adalah warga negara yang berhak menuntut agar para tokoh dan pemimpin masyarakat maupun pemimpin pemerintahan agar lebih berkonsentrasi untuk menjamin berlangsungnya sebuah bebrayan sosial yang saling menyelamatkan.

Politik tidak boleh hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan dan ambisi pribadi/kelompok dengan mengorbankan integitas sosial. (keutuhan masyarakat).

Pun pula demikian halnya bahwa seni tidak boleh dijadikan tunggangan untuk melepaskan tanggungjawab manusia untuk membangun kolektifitas sosial yang lebih beradab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun