Saya menuliskan opini ini tidak ada tujuan lain selain sebagai semacam sedekah saya kepada Bangsa Indonesia. Tapi kalau kepada Bangsa Indonesia terdengar terlalu muluk-muluk, ya paling tidak untuk masyarakat yang lebih kecil skala ruangnya, misalnya bagi masyarakat kampung saya sendiri.Â
Kalaupun sedekah untuk masyarakat kampungku sendiri masih terasa terlalu sok dan gumedhe, ya biarlah urun rembug ini ke berikan untuk diri sendiri dan keluargaku. Masak manusia kelas nyamuk macam saya berlagak sok-sok-an menyedekahi bangsa Indonesia ?
Begini,
Ada seorang yang katanya tokoh Nasional beberapa hari yang lalu dalam suatu kesempatan berkenan membaca satu puisi. Ini sebenarnya sangat menggembikan karena ditengah rimba belantara politik yang lazimnya dipenuhi oleh busa-busa janji yang bergelembung-gelembung melimpah ruah,intrik dan psy war yang kian membonsai gerak akal sehat masyarakat tapi ternyata ada tokoh yang cukup percaya diri untuk membaca puisi. Sentuhan seni yang entah sekecil apapun pasti membuka ruang untuk mengolah aspek estetika manusia.
Hanya masalahnya, ternyata puisi itu justru menimbulkan respon yang memicu polemik dan ketegangan dimasyarakat karena muatan puisi tersebut mengandung sensitivitas pemeluk agama tertentu.Â
Tak pelak, masyarakat kembali gaduh tak terkira. Salah satu imbasnya adalah dunia medsos kembali dibanjiri ujaran-ujaran kebencian (hate speech) dan respons dari berbagai elemen masyarakat dari latar belakang beragam yang menurut saya cukup mengkhawatirkan, setidaknya menambah bising telinga ketentraman kita sebagai masyarakat.
Sebagai sebuah karya seni, puisi tidak bisa disalahkan. Karya seni apapun bentuknya pada tataran ideal tidak hanya harus menempatkan diri sebagai hiburan atau sarana pelarian dari kelemahan psikologis tertentu.Â
Karya seni yang baik tidak sepantasnya melarikan diri dari realitas masyarakat dan asyik bergumul dengan romantisme atau rumbai-rumbai kesenangan yang sifatnya egoistik. Seniman tidak sepantasnya hanya menjadikan proses berkarya seni sebagai alat untuk onani estetis. Seniman bukan manusia istimewa dalam aksentuasi makna lepas dan bebas dari konvensi nilai moral dan pranata sosial.Â
Seniman punya tanggung jawab untuk memikirkan imbas dari karya seninya atau aktifitas keseniannya terhadap keselarasan dan ketentraman hidup masyarakatnya.
Terlebih, sejak memasuki tahun politik ini kita seperti diguyur oleh begitu banyak kabar atau berita mengenai peristiwa-peristiwa yang rasa-rasanya cenderung menyeret kita ke dalam sebuah situasi yang dipenuhi oleh social hatred (kebencian sosial).Â
Seniman berada berada pada posisi yang relatif lebih obyektif untuk memandan denyut gejala masyarakat karena asumsinya, senimanlah yang selama ini bekerja untuk menangkap cahaya keindahan dengan cara mengolah realitas untuk ditemukan konektivitasnya dengan kebaikan dan keindahan.Â
Seniman lebih bersandar pada apa yang indah, bukan apa yang benar dalam memaknai realitas. Setiap keindahan adalah pantulan cahaya ke-Tuhan-an, sedangkan kebenaran terlalu ringkih dihadapan subyektifitas.
Puisi Sukmawati dalam mata pandang karya sastra tidak ada masalah, artinya andaikan Sukmawati membuat dan membacakan puisi itu tidak dilandasi oleh kebencian pada pihak lain dan pembenaran terhadap diri sendiri, karya puisi itu berdiri bebas sebagai buah karya seni. Kita sangat sulit mendapat klarifikasi soal ini, kecuali si pembaca puisi tadi punya itikad untuk jujur mengkomunikasikannya.
Hanya saja saya berpendapat bahwa Sukmawati tidak tepat melihat momentum. Muatan inti nilai puisi Sukmawati berada pada koordinat ruang yang akhirnya mengusik heterogenitas masyarakat dengan seolah-olah menghadapkan agama dengan budaya.
Kita merasakan suhu psikologi sosial masyarakat kita yang menghangat akibat "digoreng" kepentingan politik menjelang pesta demokrasi beberapa waktu ke depan.
Melihat hal tersebut, akan lebih baik jika setiap orang terlebih tokoh masyarakat mengedepankan sikap kenegarawanan dengan selalu bersabar/menahan diri untuk senantiasa meletakkan rasa keamanan, ketertiban dan persatuan nasional sebagai prioritas utama.Â
Sukmawati tidak boleh menuding pihak yang mempersoalkan puisinya sebagai kelompok yang tak paham seni dan doif dalam urusan estetika.
Kalau karya seni telah disengajakan untuk diapresiasi secara luas, artinya si seniman dan pengkarya seni sudah siap dengan segala hal yang akan timbul dari karya seni itu, termasuk kontroversi. Mata pandang rakyat tidak boleh dipaksa sebagaimana mata pandang seorang seniman karena laku hidup, pengalaman dan proses belajar tiap manusia berbeda.
Saya tidak berniat menggurui Sukmawati maupun tokoh-tokoh nasional itu. Saya sangat tahu diri bahwa saya bukan siapa-siapa, baik secara kualifikasi personal maupun status sosial. Saya bukan siapa-siapa.Â
Tapi, saya adalah warga negara yang berhak menuntut agar para tokoh dan pemimpin masyarakat maupun pemimpin pemerintahan agar lebih berkonsentrasi untuk menjamin berlangsungnya sebuah bebrayan sosial yang saling menyelamatkan.
Politik tidak boleh hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan dan ambisi pribadi/kelompok dengan mengorbankan integitas sosial. (keutuhan masyarakat).
Pun pula demikian halnya bahwa seni tidak boleh dijadikan tunggangan untuk melepaskan tanggungjawab manusia untuk membangun kolektifitas sosial yang lebih beradab.
Pada konteks pembacaan puisi Sukmawati, saya berpendapat bahwa membandingkan antara budaya dan agama sungguh sangat tidak tepat. Agama dan budaya adalah dua hal yang tidak boleh dihadapkan secara antagonistik. Agama itu "produk" nya Tuhan, sementara budaya adalah buah budi manusia. Mana mungkin Tuhan dan manusia saling menegasikan?
Memaknai suatu karya seni atau obyek yang indikatif dengan rasa estetis seharusnya dengan pemahaman bahwa tidak ada yang lebih indah satu sama lain, lebih-lebih saling merendahkan.
Karawitan tidak lebih indah dari Jazz, Kidung Macapat tidak lebih indah dari alunan melodis suara azan atau pun sebaliknya. Semuanya, dalam tataran estetika memiliki keindahan masing-masing yang tidak perlu dibanding-bandingkan. Apalagi bila membandingkannya dengan niat untuk merendahkan satu sama lain.
Saya berkeyakinan yang lebih baik kita lakukan sebagai bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia adalah marilah kita mulai membangun kebersamaan dan prasangka baik mulai dari tingkat paling bawah,yakni keluarga kita,syukur masyarakat kampung kita, desa kita.Â
Para pemuka masyarakat, para tokoh agama atau tokoh apapun seyogyanya mengambil tempat dan sikap yang selalu memperhitungkan equilirium bebrayan agung kita dalam berbangsa dan bernegara. Kalau kita tidak bisa saling menahan diri, dan terus saling memaksakan kebenaran, berarti kita sungguh-sungguh sedang merencanakan kehancuran kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI