"Apa-apaan ini, Elio!" seru Raja Vex, marah. "Kau menghinaku! Di mana warna jubah keemasan dan kebahagiaanku?"
Elio maju ke depan, menunduk, tetapi suaranya tegas. "Yang Mulia," katanya. "Pelukis lain melukis apa yang dilihat mata mereka. Saya melukis Jiwa yang disentuh oleh tangan saya."
Ia menunjuk ke kanvasnya. "Saya tidak bisa melukis jubah Anda dengan warna emas kebahagiaan, karena saat saya menyentuhnya, yang saya rasakan hanyalah kekosongan."
Para menteri berbisik-bisik, melihat potret abu-abu itu. Mereka terbiasa dengan kemegahan yang menipu. Tetapi, di balik ketiadaan warna, untuk pertama kalinya mereka melihat wajah Raja dan diri mereka sendiri tanpa kepura-puraan. Mereka melihat ketakutan yang Elio rasakan.
Sejak saat itu, potret monokromatik Elio tidak lagi dilihat sebagai aib.
Ia terus melukis dengan abu dan arang, tanpa pernah melihat dunia lain selain gradasi abu-abu. Namun, orang-orang datang berbondong-bondong melihat karyanya. Bukan lagi untuk melihat keindahan warna, melainkan untuk merasakan kebenaran yang ia sampaikan melalui sentuhan tangannya.
Ia adalah Pelukis Tanpa Warna, tetapi ia adalah satu-satunya yang benar-benar bisa melihat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI