Lalu ia menulis balasan, dengan kalimat yang lahir bukan dari kepala, melainkan dari hati yang rindu:
"Ya Allah, hanya Engkau-lah Penyembuh sesungguhnya...
Sembuhkanlah karibku, Bang Idrus.
Aamiin Ya Rabbal 'Alamiin."
Ia menutup ponselnya, menatap keluar jendela.
Langit Bandung masih teduh, tapi di dadanya, doa itu terus bergetar --- lembut, seperti daun jatuh di atas air.
* Kenangan yang Tak Pernah Tua*
Malamnya, saat lampu jalan menyala kuning remang, Bang Soeti termenung di kursi rotan tuanya. Suara serangga bersahutan dari kebun pisang di belakang rumah. Di pikirannya terputar kilas balik: dirinya dan Bang Idrus di masa muda.
Berjalan kaki dari Dago ke Kosambi hanya karena ingin menghemat ongkos angkot; makan bubur ayam pinggir jalan sambil bercanda soal tugas kuliah yang belum selesai; menertawakan nasib, dan merasa hidup ini akan panjang --tanpa akhir.
Kini, ...
Semua itu tinggal bayangan.
Tubuh menua, tapi kenangan tetap muda.
Dan dari segala yang pernah mereka miliki --- uang, ijazah, pekerjaan --- yang tersisa paling berharga hanyalah rasa saling mengingat.
* Refleksi Psikologis*
Kisah dua sahabat ini tampak sederhana, tapi sejatinya memuat dinamika batin yang kaya.
Dalam psikologi, perjalanan hidup mereka bisa dibaca sebagai proses menuju kedewasaan spiritual dan emosional.
*Erik Erikson -- Teori "Integrity vs Despair"*
Erikson menyebut bahwa di masa tua, manusia akan meninjau kembali hidupnya. Mereka yang mampu menerima masa lalu tanpa penyesalan akan merasakan _integrity_ , yakni ketenangan hati.
Doa Bang Soeti untuk Bang Idrus menunjukkan penerimaan --- bahwa ia tidak lagi melawan waktu, tapi berdamai dengannya.
*Carl Rogers --Â Unconditional Positive Regard*
Rogers mengajarkan bahwa cinta dan persahabatan sejati tidak menuntut balasan.