* Kabar yang Menggugah Sunyi*
Puluhan tahun kemudian, Bandung tetap indah, tapi tubuh tak lagi sekuat dulu.
Gang-gang itu masih sama: sempit tapi penuh cerita.
Yang berbeda hanya langkah Bang Soeti yang kini lebih pelan dan napasnya lebih berat. Tak mudah pamerkan merdunya suara bernyanyi.
Suatu pagi yang teduh, di bawah suara kokok ayam dan azan Subuh yang memudar, ia mengetik pesan dengan jari yang agak gemetar:
"Bang Idrus,
Jika ada anakku yang punya waktu untuk mengantarku --- aku ingin berkunjung ke rumahmu.
Ingin bisa ngobrol dan cekikikan seperti dulu."
Pesan itu dikirim dengan perasaan yang campur aduk.
Ada rindu, ada takut, ada kesadaran bahwa pertemuan mungkin tak selalu datang di waktu yang diinginkan. Tapi ada sesuatu yang lebih kuat dari semuanya: *keinginan untuk memastikan bahwa sahabat lamanya masih ada --- masih bernafas di bawah langit yang sama*.
* Balasan yang Lembut Sekaligus Perih*
Beberapa jam kemudian, notifikasi kecil muncul.
Pesan balasan dari *Bang Idrus*:
"Alhamdulillah, Bang Soeti...
Saya juga ingin bertemu agar dapat bercerita dan bergembira seperti dulu.
Tapi untuk sementara, saya tangguhkan dulu saat-saat bertemu ini,
karena kaki saya belum sembuh betul.
Bisa berjalan di dalam rumah dengan tongkat tapi masih berat mengangkat kaki.
Setelah duduk, pinggang agak sakit karena membungkuk..."
Bang Soeti membaca pesan itu lama.
Matanya mulai basah, tapi bibirnya justru tersenyum kecil.
Ada rasa getir, tapi juga haru yang dalam --- karena bahkan dalam keterbatasannya, sahabatnya masih menjaga tutur yang lembut dan penuh syukur.
Dalam hati, ia tahu: manusia bisa kehilangan banyak hal --- kekuatan, waktu, bahkan cita-cita. Tapi selama masih bisa mendoakan satu sama lain, maka mereka belum benar-benar kehilangan segalanya.