Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Soetiyastoko | Seprei yang Mengingat Langit

7 September 2025   09:47 Diperbarui: 7 September 2025   09:47 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen Kontemplatif  |  *Seprei yang Mengingat Langit*

DikToko
(Soetiyastoko)

Herliany Sintalaya terbangun oleh sepi yang menggigit. Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 02.00, sebuah wilayah waktu yang sunyi dan tak bertuan.
Matanya berkedip-kedip menyesuaikan diri dengan kegelapan yang tidak lagi sepenuhnya gelap bagi matanya yang berusia enam puluh delapan tahun. 


Tanpa sadar, telapak tangannya yang keriput mulai menyusuri permukaan seprei katun yang dingin. Meraba-raba, mencari sesuatu yang seharusnya ada di sana: sebuah kehangatan, sebuah kepastian, sebuah tangan yang gempal berotot yang selalu siap mendekap dan menjadi dermaga baginya di tengah malam yang rentan seperti ini.

Lalu, kesadaran pun datang, pelan namun pasti, bagai tetes air yang menembus batu karang. Pencariannya sia-sia. Tangan yang ia rindukan itu telah berpulang, dan tubuh yang dulu menjadi rumah baginya kini telah kembali menjadi debu.
Kubur itu berjarak hanya sepelemparan batu dari jendela mobil tua-nya, di bawah nisan marmer yang kemarin pagi ia peluk dalam doa.

Herliany Sintalaya, duduk sejenak di tepi ranjang, sebelum tertatih menuju kamar mandi.

Sesaat kemudian tangan basahnya menghamparkan sajadah di situ. Tempat yang sama setiap kali berdiri dan getar bisikan takbir.
Bedanya --kini tak ada imam di depannya. Tak ada anak-anak disekitarnya. Benar-benar sendiri dan berjuang untuk khusyuk.

Kenangan-kenangan manis itu datang berondongan: jawilan nakal saat ia melintas, pelukan dari belakang yang membuatnya terkejut sekaligus tersipu, gandengan tangan yang tak pernah lepas di keramaian, dan sentuhan halus di dagunya saat mobil meluncur di jalan raya. Semua itu kini adalah museum pribadi yang hanya bisa ia kunjungi dalam lamunan.

Namun, kesendiriannya tidaklah kosong. Ia telah belajar menjadi kurator bagi museum hatinya sendiri. Daripada tenggelam, ia memilih untuk mengalirkan kenangan-kenangan itu menjadi kalimat-kalimat indah di layar laptopnya.

Tulisannya adalah lukisan dengan kata-kata---lembut, liris, penuh metafora dan analogi tentang kehilangan, yang bukan sebagai kekurangan, tetapi sebagai ruang baru untuk diisi dengan cara yang berbeda.

Ia menulis tentang cinta yang berubah bentuk, dari yang fisik menjadi kenangan. Tentang peran yang bergeser, dari seorang istri menjadi seorang diri yang utuh.
Teman-temannya di media sosial membanjiri kolom komentar dengan ucapan terima kasih dan kekaguman. Tapi bagi Herlin, like dan share hanyalah kunang-kunang di kegelapan; yang ia cari adalah cahaya sendiri untuk dinikmati dalam tulisannya.

Kebutuhan sehari-hari?
Anak-anaknya yang telah berkeluarga dan tinggal berjauhan telah mengatur segalanya dengan sempurna. Seorang asisten rumah tangga datang secara rutin.
Makanan terkirim tepat waktu. Pakaian bersih terlipat rapi di lemari.
Kasih sayang mereka hadir dalam bentuk yang lain: bukan lagi pelukan, tetapi kepastian bahwa ibu mereka tidak kekurangan suatu apa pun.

Hidup Herliany Sintalaya kini berputar pada poros yang baru: menulis, berdoa, membaca, sujud di sajadah Turki dan mengayuh sepeda statis. Katanya, untuk menjaga degup jantungnya  agar tetap ritmis dan stabil.

*Kabar yang Mengguncang Poros*

Suatu sore, saat hujan rintik-rintik membasahi jendela, sebuah pesan singkat masuk dari seorang yang hampir terlupakan: Rina, sahabat semasa SMA-nya. "Lin, kabar dariku mungkin akan mengagetkanmu. Aku dirawat di RS. Kanker stadium akhir. Dan... ada yang ingin kukatakan. Aku menyesal. Selama ini, aku iri padamu."

Pesan itu bagai gempa kecil yang retak di lantai tenang kehidupannya. Herlin terhenyak. Rina, yang selalu terlihat begitu perkasa dan sukses dalam setiap update media sosialnya? Rina, yang iri? Pada dirinya yang menjanda?

Pertemuan mereka di rumah sakit adalah sebuah pelajaran tentang ilusi. Rina, yang kurus kering, menggenggam tangan Herlin erat-erat.
"Aku selalu pikir hidupmu sempurna, Lin. Suami yang mencintaimu, anak-anak yang sukses. Dan kini, tulisan-tulisanmu yang damai. Aku sibuk membangun karier, mengumpulkan harta, tapi merasa hidupku kosong. Aku iri karena kau selalu tahu peranmu di setiap usia. Aku... kebingungan."

Herlin hanya bisa membalas genggaman itu. Air matanya menitik. Ia menyadari, di balik tirai kesuksesan masing-masing orang, ada pertempuran batin yang tak terlihat. Rina ternyata tersesat dalam perannya sendiri. Herlin pulang dengan hati berat. Tulisan-tulisannya selama ini terasa naif. Apakah ia hanya menulis dari menara gadingnya?


*Penerimaan yang Menyejukkan*

Malam itu, Herlin tidak menulis. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang bintang dari jendela. Lalu, matanya tertuju pada seprei yang ia susuri setiap malam. Ia tersadar. Seprei itu tak lagi sesunyi dulu. Jejak kehangatan suaminya mungkin telah pergi, tetapi setiap lipatannya kini menyimpan cerita yang berbeda: cerita tentang anak-anak yang membesarkan, tentang tulisan-tulisannya yang menyentuh orang lain, tentang sahabat yang akhirnya jujur tentang kelemahannya.

Keesokan harinya, ia menulis dengan sudut pandang baru. Ia menulis tentang "Iri yang Indah"---tentang bagaimana rasa iri Rina justru adalah cermin bahwa setiap orang punya perjuangannya sendiri, dan bahwa pergeseran peran dalam hidup adalah sebuah kepastian yang harus disyukuri, bukan disesali. 

Tulisan itu menjadi salah satu tulisannya yang paling banyak dibagikan. Rina, yang membacanya dari tempat tidurnya, mengirimkan pesan, "Terima kasih telah mengubah iriku menjadi pemahaman."


*Pewaris yang Tak Terduga*

Beberapa bulan kemudian, Rina meninggal dengan tenang. Herlin hadir dalam suasana hening. Putri Rina, seorang wanita muda bernama Maya, menghampirinya usai pemakaman. "Tante Herlin," ucap Maya dengan suara bergetar. "Ibu sering bicara tentang Tante. Dia meninggalkan sesuatu untuk Ibu." Dia menyodorkan sebuah jurnal tua. "Ibu bilang,dia iri pada cara Ibu menulis. Sejak tahu sakitnya, dia mulai menulis juga. Dia ingin Ibu yang membacanya pertama kali."

Herlin membuka jurnal itu. Di dalamnya, bukan kumpulan keluhan, tetapi puisi-puisi pendek dan refleksi Rina tentang hidup, penyesalan, dan harapan yang tersisa. Tulisannya kasar, jujur, dan penuh luka, tetapi justru di situlah keindahannya. Di halaman terakhir, tertulis: 

"Untuk Herlin, yang mengajariku bahwa di ujung usia, peran terbaik adalah menjadi diri yang jujur. Terima kasih telah menjadi teman di perantauan terakhirku."

Herliany Sintalaya pun menangis. Ia menyadari bahwa perannya kini bergeser lagi. 

Bukan hanya sebagai penulis untuk dirinya sendiri, tetapi juga sebagai penjaga cerita sahabatnya. Ia meneruskan warisan Rina dengan membagikan beberapa tulisannya (dengan izin Maya), menunjukkan bahwa di setiap usia dan keadaan, manusia bisa memulai peran baru: sebagai pemberi inspirasi, sebagai pendengar, dan sebagai penjaga memori.

Penutup: Tetes yang Bermuara di Sudut Mata



Kembali di kamarnya, Herlin menyentuh seprei itu sekali lagi. Namun kali ini, ia tersenyum. Tangan yang ia cari dulu memang tak ada, tetapi kini ia merasakan adanya tangan-tangan lain: tangan anak-anak yang mengurusnya dari jauh, tangan Rina yang telah mempercayakan ceritanya, dan tangan Maya yang meneruskannya.

Hidup ini bagai serpih-salju yang berhamburan, pikirnya. Ada yang meleleh di genggaman, menjadi air yang menyejukkan jiwa. Dan jika ada tetes yang bermuara di sudut mata, ia tak lagi buru-buru menghapusnya. 

Ia biarkan tetasan itu mengalir, karena itu adalah bukti bahwa ia pernah mencintai, kehilangan, dan tetap menemukan cara baru untuk bergembira. 

Ia mengambil laptopnya, dan mulai menulis lagi, dengan rasa syukur yang lebih dalam dari sebelumnya. Peran barunya adalah merangkul semua peran lamanya, dan menuliskan cerita untuk dinikmati, dengan cara yang berbeda.

***

*Kesimpulan*

Kisah Herliany Sintalaya adalah sebuah lukisan halus tentang perjalanan hidup manusia yang penuh dengan pergeseran peran dan tanggung jawab.

Dari seorang istri yang disayangi, menjadi seorang janda yang harus belajar mandiri, lalu menemukan peran barunya sebagai seorang penulis yang menginspirasi dan akhirnya menjadi penjaga kenangan bagi sahabatnya. Cerita ini menyimpulkan bahwa perubahan adalah sunnatullah (hukum alam yang ditetapkan Allah).

Tiada satu pun fase dalam hidup yang kekal, dan kesedihan atas sebuah kehilangan --pada akhirnya akan bertransformasi menjadi kekuatan baru, jika disikapi dengan syukur dan penerimaan.

Herlin membuktikan bahwa dengan hati yang ikhlas dan pikiran yang positif, seseorang tetap dapat menemukan kebahagiaan, kemandirian, dan makna hidup yang dalam di setiap tutur usia.

***

*Hikmah*

Hikmah yang dapat kita petik adalah bahwa hidup ini bukanlah tentang mempertahankan apa yang telah pergi. Melainkan tentang merangkul apa yang hadir di hadapan kita, dengan penuh kesadaran.

Kesendirian bukanlah kutukan, tetapi kesempatan untuk bercakap dengan diri sendiri dan Tuhan lebih dalam.

Setiap peran yang berganti---dari yang paling membahagiakan hingga yang paling menyedihkan---membawa pelajaran dan kesempatan uniknya sendiri, untuk tumbuh dan memberi manfaat kepada orang lain.

Kebahagiaan sejati terletak pada kemampuan kita untuk bersyukur, bukan hanya atas hal-hal yang kita miliki, tetapi juga atas ruang kosong yang ditinggalkan oleh kepergian, karena ruang itulah yang memungkinkan hal-hal baru untuk masuk.

***

*Pelajaran yang Bisa Dipetik*

1. Bersyukur dalam Setiap Keadaan: 

Syukur adalah lensa yang mengubah setiap cobaan menjadi peluang dan setiap kenangan menjadi kekuatan, bukan beban.

2. Terbuka terhadap Perubahan:


 Berdamailah dengan fakta bahwa peran kita dalam hidup akan terus berubah. Melawan perubahan hanya akan mendatangkan penderitaan.

3. Temukan Passion dan Tujuan Baru:


Seperti Herliany Sintalaya dengan menulisnya, menemukan sebuah kegiatan yang memberi makna adalah kunci untuk tetap bergairah dan sehat secara mental.



4. Jangan Takut pada Vulnerabilitas (Rapuh):


Seperti yang dilakukan Rina, kejujuran dan kerapuhan kita justru bisa menjadi jembatan untuk menyembuhkan hubungan dan diri sendiri.

5. Kemandirian adalah Sebuah Pencapaian:

Tetap sehat dan mandiri di usia senja adalah sebuah bentuk ibadah dan hadiah terindah yang bisa kita berikan kepada diri sendiri dan keluarga.

---

Ayat Al-Qur'an dan Hadits yang Relevan

1. Tentang Bersyukur:

* QS. Ibrahim (14): 7
 
  * "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.'"
  * Herlin bersyukur atas kenangan indah dan kesendiriannya, dan Allah 'tambah' nikmatnya dengan memberikan ketenangan, inspirasi, dan peran baru.

2. Tentang Belajar Sepanjang Hayat & Berbuat Baik:

* QS. Al-Kahfi (18): 110 (Bagian Akhir)
 
  * "Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya."


  * Sepanjang hidupnya, hingga di usia senja, Herlin terus 'mengerjakan kebajikan' melalui tulisan-tulisannya yang menginspirasi dan menebar kebaikan.


* Hadits Riwayat Ibnu Majah
 
  * "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim."


  * Ilmu tidak hanya dari buku, tetapi juga dari pengalaman hidup. Herlin 'belajar' dari kehilangan, kesendirian, dan pertemuannya dengan Rina, lalu mengamalkan ilmu tersebut untuk kebaikan banyak orang.

3. Tentang Memberi Manfaat:

* Hadits Riwayat Muslim
 
  * "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya."


  * Ini adalah prinsip hidup yang dipegang Herlin. Di masa tuanya, ia tidak menjadi beban, tetapi justru menjadi manusia yang bermanfaat melalui kata-kata dan kisahnya, menyebarkan ketenangan dan inspirasi kepada banyak orang di media sosial.

Herliany Sintalaya adalah cerminan dari nilai-nilai Islam ini: bersyukur atas takdir, terus belajar dan berbuat kebajikan dari setiap fase kehidupan, dan senantiasa berusaha menjadi manfaat bagi orang lain hingga di akhir usianya. Itulah kunci ia tetap sehat, mandiri, dan bermakna.

_________

Pagedangan, Rumah di sudut Jalan Mangga Raya, BSD, Minggu, 07/09/2025 08:14:31

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun