Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sosbud | Percakapan di Tepi Danau: Menjaga Taman Pikiran

25 Agustus 2025   01:41 Diperbarui: 25 Agustus 2025   01:41 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bayangan di permukaan danau. Dok.Pri.

Sosbud  |  Percakapan di Tepi Danau: Menjaga Taman Pikiran

DikToko
(Soetiyastoko)

Aku terusik bisik lembut, bukan lewat kupingku --tetapi langsung ke gumpalan di dalam tulang kepalaku. "Ayo ikuti aku, menyusuri tepi sungai bening", itu bisiknya. Nadanya seperti milik Eyang Putri-ku. Tapi pasti bukan dari bibir Eyang.

Entah kenapa, kutinggalkan teras Villa di Lembah itu. Kuikuti ajakannya, seperti sedang dituntun dengan kasih. Daun-daun kering gemerisik halus, terinjak kakiku.

Entah seberapa jauh telah berjalan, bunga-bunga pukul sembilan --mekar, menyapa dengan angguk dan senyum.

"Duduklah sebentar di sini, di tepi dermaga kayu yang sunyi ini. Lihatlah bagaimana permukaan danau ini memantulkan wajahmu dengan setia. Di balik wajah yang tenang itu, ada sebuah taman yang sangat berharga---otakmu. Ia adalah taman tempat benih pikiran tumbuh, tempat kenangan mekar seperti teratai, dan di mana kedamaian seharusnya bersemayam". Kalimat-kalimat itu tertib, antri --langsung ke benakku.

Apakah ini jawaban-Nya --yang kuminta saat kutengadahkan dua telapak tanganku, di dinihari tadi ?

Suara burung-burung yang riang, cahaya matahari jam 9. Terasa hangat, menyibak dinginnya punggung gunung.

Kalimat - kalimat itu terdengar lagi dan sepertinya --sosok yang bicara itu dekat sekali. Posisinya dekat sekali denganku.

"Namun, tanpa disadari, kadang kita biarkan angin kotor dan hujan badai masuk, merusak keindahan taman itu. Bayangan di air yang tenang ini seakan berbisik, mengingatkan kita pada hal-hal yang perlahan-lahan mengikis keindahan itu".

Taman ?
Taman yang mana ?

Dengarkanlah bisikannya...

Ia berkata bahwa stres yang terlalu banyak adalah seperti racun yang disiram langsung ke akar pohon yang paling rindang. Racun itu bekerja cepat, membuat daun-daun kepercayaan diri dan kewarasan mengering satu per satu.

Lalu, kebiasaan tidur yang buruk adalah seperti mencuri malam dari taman. Malam adalah saat para peri datang membersihkan debu, menyirami bunga-bunga kenangan, dan merapikan rerumputan pikiran. Tanpa malam yang tenang dan utuh, taman menjadi kusam dan layu.

Tahukah kamu? Suara yang terlalu keras adalah seperti badai petir yang tiba-tiba. Ia tidak hanya menerbangkan daun, tetapi mematahkan dahan-dahan halus yang bertugas menangkap nada-nada beludru kehidupan.

Dan rasa kesepian, menjauhi dunia, atau berlama-lama di sekitar orang yang beracun. Orang gemar menghujat, memaki dan menghina. Sosok --penuai hoax, penimbun benci, adalah pembungkus seluruh taman dengan terpal plastik.

Taman itu tercekik, kehilangan udara segar dari canda tulus dan kehangatan cahaya matahari dari persahabatan yang tulus.

Setiap berita buruk yang kita santap adalah seperti polusi yang mengotori kolam jernih tempat pikiran kita bermain. Airnya menjadi keruh, membuat kita sulit melihat keindahan yang masih ada.

Memikirkan suatu masalah tanpa ujung ibaratnya seperti mengajak naga untuk tinggal di taman. Naga itu menginjak-injak setiap tunas harapan baru dengan cakarnya yang bernama kekhawatiran.

Lalu, gula yang manis ternyata metamorfosa: "bisa pahit". Ia adalah embun yang rasanya legit tapi meninggalkan jelaga yang menyumbat aliran-air kesegaran di setiap selnya. Tak selalu baik untukmu, kurangilah.

Layar-layar yang menyala adalah lampu yang tak pernah padam, mengganggu ritme senja dan fajar di dalam taman, mengacaukan waktu tidur bagi kupu-kupu dan kumbang yang seharusnya beristirahat. Pastikan ada jadwal untuk layar gawai dan komputermu.

Dan ...                                                                ... hutang,
duduk terlalu lama,
serta

kurangnya tubuh bergerak ...
Adalah seperti tiga batu nisan                        yang                                                                menutupi tanah subur.

Mereka membatasi ruang tumbuh manusia, membelenggu akar, dan membuat taman itu stagnan, kehilangan vitalitasnya.

"Jika diri lalai dan memperturutkan semua itu, rusaklah daya otak. Hancurlah hidupnya", dia sekelebat menampakan diri di beningnya telaga itu. Dia pinjam wajahku.

***

Soetiyastoko, penulis & pemerhati sosial, budaya, politik & pendidikan. Dok.Pri.
Soetiyastoko, penulis & pemerhati sosial, budaya, politik & pendidikan. Dok.Pri.
Kesimpulan

"Wahai bayanganku yang setia di air, kau telah mengingatkanku bahwa otakku ini adalah taman yang paling berharga".

Merawatnya bukanlah sebuah tugas, tetapi sebuah bentuk kasih sayang yang paling dalam pada diri sendiri.

Setiap pilihan---dari apa yang kudengar, kulihat, kurasakan, dan kupikirkan---adalah seperti memilih akan membawa angin sepoi-sepoi atau badai ke dalam taman jiwa.

*Hikmah*

Hikmahnya adalah kesadaran bahwa setiap diri adalah penjaga sekaligus pencinta dari "taman" yang ada dalam kita sendiri.

Setiap sosok, Tuhan milikan: kuasa penuh untuk membangun pagar yang kokoh terhadap hal-hal yang beracun, hal yang tak berguna.

Dan Dia mampukan --membuka pintu lebar-lebar, untuk hal-hal yang membawa kedamaian. Menyuguhkan pertumbuhan, dan keindahan.

Kelembutan dalam merawat diri adalah kekuatan yang paling elegan.

Pelajaran

1. Jaga Pagar Kebiasaan:

Prioritaskan tidur yang nyenyak dan kelola stres dengan lembut. Itu adalah fondasi pagar yang melindungi taman, otak kita.


2. Pilih "Udara" dan "Cahaya" dengan Bijak:

Kelilingi dirimu dengan orang-orang yang menyiramimu dengan kebaikan, dan jauhkan telinga dari kebisingan serta pikiran dari kabar buruk yang tak perlu. Wangi atau busuknya teman bergaul  --pasti melekat ke setiap diri terdekatnya.


3. Beri Taman Itu "Gerak" dan "Ruang":

Bangunlah, bergeraklah, berjalan-jalanlah. Alirkan energi kehidupan ke setiap sudut taman melalui olahraga dan jangan biarkan ia terkungkung oleh kebiasaan duduk yang kelam. "Kasihanilah kursi, terbebani"


4. Rawati dengan Penuh Kesadaran:

Setiap kali kamu merasa "tamanmu-otakmu, mulai gersang, bertanyalah, "Angin buruk apa yang baru saja aku izinkan masuk?".  Lalu, dengan lembut, usir angin itu dan ganti dengan kedamaian.

Kini, pantulan wajah di danau itu tersenyum. Ia tahu, setelah percakapan ini, sosok itu akan pulang dengan janji baru untuk lebih merawat taman pikirannya, dengan lembut dan penuh cinta.

--------------------

BPA, Pagedangan, BSD, Kab. Tangerang, Minggu, 24/08/2025 23:52:23
Tak ada yang mencumbui gendang telinga. Senyap diantara gelap.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun