Gelas kopi belum kosong. Masih ada sisa beberapa tegukan lagi. Sayang kalau terlalu cepat dihabiskan. Kasihan penunggu warung yang sedang rehat sejenak harus bangkit untuk pindahkan gelas kopi dan kemudian mencucinya.
Saat itu, aku sedang melihat pagi di warung kopi, milik Haji Diman. Tempat favorit penggila kopi di kotaku, Jeuram.
Aha, sedikit mengada-ada karena kusebut melihat pagi. Padahal jelas-jelas pagi tak bisa didefinisikan seperti perempuan penjual bunga yang diam-diam meminjam nyawa bunga di kebunnya. Sehingga mengundang debar. Lalu bisa diceritakan ke orang-orang, aku tidak lagi mengenal bunga setelah aku mengenal perempuan itu.
Pagi jauh lebih indah dari sekadar birahi.
Pada pagi, ada sejuk yang sulit ditemukan dalam sekadar obrolan. Di sana ada teduh yang melebihi dada bidang lelaki yang kerap dilamunkan perawan.
*
"Berapa hari kau pergi, Nak?" tanya Bapak.
"Aku tidak bisa berhitung"
**
"Besok pagi kau pulang kan, Nak?"
"Aku tidak ingin ingkar janji, Mak. Jadi, sebaiknya aku tidak berjanji"