Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Matahari Belum Pulang

20 Januari 2011   18:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:21 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Gelas kopi belum kosong. Masih ada sisa beberapa tegukan lagi. Sayang kalau terlalu cepat dihabiskan. Kasihan penunggu warung yang sedang rehat sejenak harus bangkit untuk pindahkan gelas kopi dan kemudian mencucinya.


Saat itu, aku sedang melihat pagi di warung kopi, milik Haji Diman. Tempat favorit penggila kopi di kotaku, Jeuram.


Aha, sedikit mengada-ada karena kusebut melihat pagi. Padahal jelas-jelas pagi tak bisa didefinisikan seperti perempuan penjual bunga yang diam-diam meminjam nyawa bunga di kebunnya. Sehingga mengundang debar. Lalu bisa diceritakan ke orang-orang, aku tidak lagi mengenal bunga setelah aku mengenal perempuan itu.


Pagi jauh lebih indah dari sekadar birahi.


Pada pagi, ada sejuk yang sulit ditemukan dalam sekadar obrolan. Di sana ada teduh yang melebihi dada bidang lelaki yang kerap dilamunkan perawan.


*


"Berapa hari kau pergi, Nak?" tanya Bapak.

"Aku tidak bisa berhitung"


**

"Besok pagi kau pulang kan, Nak?"

"Aku tidak ingin ingkar janji, Mak. Jadi, sebaiknya aku tidak berjanji"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun