Di tengah hiruk-pikuk dunia yang serba cepat dan penuh tuntutan, manusia sering kali terjebak dalam labirin kebutuhan hidup. Pekerjaan, penghasilan, popularitas, dan gaya hidup menjadi kompas utama yang menuntun arah hidup banyak orang. Namun, di balik semua itu, ada satu pertanyaan mendasar yang sering luput dari perhatian: Apa sebenarnya maksud dari hidup ini?
Kebutuhan Hidup yang Mengalihkan Fokus
Tak dapat dipungkiri, kebutuhan hidup adalah sesuatu yang nyata dan harus dipenuhi. Makan, tempat tinggal, pakaian, hingga akses teknologi dan hiburan menjadi bagian dari keseharian. Namun yang sering terjadi, kebutuhan hidup berubah menjadi nafsu konsumsi yang tak pernah puas. Kita mulai mengukur nilai diri berdasarkan harga sepatu, merek baju, atau kecanggihan gawai---sementara nilai sejati manusia justru tidak terletak pada semua itu.
Bayangkan, sebuah peci yang diletakkan di kepala---lambang kesadaran dan ketundukan kepada Tuhan---sering kali dihargai jauh lebih murah daripada sepatu yang digunakan di kaki. Padahal, posisi kepala yang menunduk dalam sujud justru menjadi simbol tertinggi kehormatan seorang manusia di hadapan Tuhannya. Ironis, bukan?
Panggilan Azan dan Pilihan Hidup
Setiap hari, panggilan azan dikumandangkan sebagai seruan agung dari langit. "Allahu Akbar" bukan sekadar lafaz, tetapi pengingat bahwa tidak ada yang lebih besar dari Allah. Namun respons manusia terhadap panggilan ini beragam. Ada yang segera beranjak menuju masjid, meninggalkan urusan dunia. Ada pula yang memilih menundanya, bahkan mengabaikannya, karena merasa urusan dunianya lebih mendesak.
Dalam azan, kita tidak hanya diajak untuk shalat, tetapi untuk menang. Kata "Hayya 'alal falah"(mari menuju kemenangan) menunjukkan bahwa ibadah bukan beban, tetapi jalan menuju keberhasilan sejati. Sementara dunia menjanjikan kesuksesan semu, shalat adalah jalan menuju keberhasilan hakiki di dunia dan akhirat.
Gaya Hidup vs Tujuan Hidup
Sepatu mahal, pakaian bermerek, dan simbol-simbol gaya hidup sering kali menjadi pusat perhatian. Tapi kita lupa bahwa ada orang yang hidup tanpa kaki, namun tetap mampu menjalani hidup dengan utuh dan bermakna. Itu artinya, nilai hidup tidak tergantung pada apa yang kita miliki, melainkan pada kesadaran akan untuk apa kita hidup.
Sering kali, manusia tenggelam dalam rutinitas dunia tanpa pernah berhenti sejenak untuk merenung: Untuk apa aku hidup? Apa maksud keberadaanku di dunia ini? Jika pertanyaan ini tidak pernah muncul dalam benak kita, maka bisa jadi kita sedang hidup hanya untuk bertahan, bukan untuk mencapai tujuan yang lebih mulia.
Kepala: Tempat Dimulainya Kesadaran
Tubuh manusia tidak akan hidup tanpa kepala. Di dalam kepala terdapat otak, pusat kesadaran, tempat bermulanya niat dan pemahaman. Namun, betapa sering kita membiarkan kepala hanya sibuk berpikir tentang dunia, tanpa merenungi tujuan keberadaan kita.
Seharusnya, kepala menjadi aset spiritual paling berharga---bukan hanya alat berpikir logis, tetapi tempat bersemai nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Saat kita memberi ruang pada kepala untuk merenung, kita mulai memahami bahwa hidup bukan hanya tentang memiliki, tetapi tentang menjadi---menjadi pribadi yang bermakna, yang hadir bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk membawa cahaya bagi sesama.
Penutup: Saatnya Kembali ke Maksud Hidup
Maka mari bertanya pada diri sendiri: Apakah aku hidup hanya untuk mengejar kebutuhan, ataukah aku hidup untuk memenuhi maksud yang lebih tinggi? Jangan biarkan hidup habis dalam kesibukan tanpa arah. Jangan sampai kita menjadi manusia yang berlari cepat, tetapi tidak tahu ke mana harus tiba.
Azan itu panggilan. Dan shalat adalah jawaban. Allahuakbar adalah pernyataan arah. Dan maksud hidup adalah kompas yang tak boleh hilang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI