Mohon tunggu...
Henny Listyowati
Henny Listyowati Mohon Tunggu... Media mengembangkan tulisan menjadi lebih baik.

TA sejak September 2007 sampai dengan Desember 2024.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cahaya yang Menyakitkan - Sebuah Monolog Reflektif Kartini

21 April 2025   12:12 Diperbarui: 21 April 2025   13:04 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber foto: commons.wikimedia.org)

Tuhan,
Aku menulis malam ini bukan karena aku kuat. Justru karena aku lemah, dan tak tahu lagi kepada siapa harus kusematkan jerit hati ini.

Mereka bilang aku beruntung. Bisa membaca. Bisa berpikir. Bisa menulis. Tapi mengapa, Tuhan... semakin aku membaca, semakin aku sadar betapa sempitnya ruangku. Semakin aku berpikir, semakin berat bebanku. Semakin aku menulis, semakin kuat kurasakan... aku tak bebas.

Aku dilahirkan dalam keluarga priyayi. Kata orang, itu kehormatan. Tapi kehormatan ini... bagai rantai emas, Tuhan. Indah dari luar, tapi menggenggam kuat sampai ke tulang. Adat. Kehendak Ayah. Ketaatan pada Ibu. Semuanya menuntut diamku.

Tapi Engkau tahu, bukan? Aku tak sungguh diam.
Di dalam diriku, ada pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah padam.
Mengapa aku dilahirkan dengan hasrat untuk belajar, untuk memahami dunia, namun tidak diizinkan keluar dari bilikku?
Mengapa Engkau menyalakan terang di benakku... jika aku hanya boleh hidup dalam gelap?

Aku tidak melawan Ayah dan Ibu. Tidak. Aku cinta mereka. Tapi aku juga tahu, cinta tidak selalu berarti setuju. Dalam bilikku, aku belajar diam-diam, membaca kata demi kata, seolah-olah setiap halaman adalah jendela---dan setiap jendela menampakkan dunia yang tak bisa kusentuh.

Aku tahu, dunia ini rusak. Bukan hanya oleh penjajah, tapi oleh dosa yang mengakar---bahkan dalam adat dan keluarga. Aku percaya kepada-Mu, Tuhan. Aku tahu Engkau berdaulat atas sejarah. Tapi mengapa dunia ini tetap bengkok?

Aku ingin sekolah. Aku ingin menjadi guru. Aku ingin membuat sekolah untuk perempuan. Tapi setiap langkahku seolah mengkhianati ibuku. Haruskah aku memilih terang yang menyakitkan ini... atau kembali ke gelap yang hangat dan diterima?

Tuhan, aku bukan pemberontak. Tapi aku juga bukan boneka.
Aku perempuan. Tapi aku juga ciptaan-Mu, serupa dan segambar dengan-Mu.
Bukankah Engkau tidak membedakan kasih-Mu berdasarkan jenis kelamin?

Aku ingin taat. Tapi kepada siapa aku harus taat, ketika suara orang tua berseberangan dengan suara hati yang Kau nyalakan dalam diriku?

Aku tidak ingin jadi pahlawan. Aku hanya ingin hidup dengan benar.
Namun di sekelilingku, kebenaran tak punya tempat. Bahkan yang kulakukan hanya dianggap aneh.
Satu-satunya tempat aku bisa berbicara tanpa takut adalah... di atas kertas ini. Dan kepada-Mu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun