Mohon tunggu...
Siti nurmalasari
Siti nurmalasari Mohon Tunggu... mahasiswa

Penulis adalah pemerhati sosial dan budaya yang aktif menulis opini tentang fenomena masyarakat Indonesia. Percaya bahwa setiap tradisi seharusnya membawa nilai, bukan sekadar sensasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sound Horeg: Tradisi, Trend, atau Gangguan Sosial?

11 Oktober 2025   14:35 Diperbarui: 11 Oktober 2025   15:23 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Foto oleh Julianus Palermo (2025), melalui Jakarta Globe jakartaglobe.id

Fenomena sound horeg tengah marak di berbagai daerah Indonesia, terutama di Jawa Timur. Apakah ini bisa disebut tradisi baru, atau justru bentuk hiburan yang mengganggu kesehatan dan ketertiban masyarakat? Berikut ulasan dan refleksinya.

Tradisi Indonesia dan Fenomena Baru Bernama Sound Horeg

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan tradisi dan budaya. Dari Sabang sampai Merauke, berbagai kebiasaan turun-temurun menjadi bagian dari identitas bangsa yang memperkuat rasa persatuan dan nasionalisme. Tradisi-tradisi tersebut tidak hanya menjadi warisan leluhur, tetapi juga sarana mempererat hubungan sosial antarwarga.

Namun, di tengah arus modernisasi, muncul fenomena baru yang disebut "sound horeg." Fenomena ini awalnya berkembang di Jawa Timur dan kemudian menyebar ke berbagai daerah. Sayangnya, "tradisi" baru ini justru menimbulkan perdebatan. Banyak yang menilai bahwa sound horeg lebih banyak membawa dampak negatif bagi kesehatan, lingkungan, dan sosial masyarakat.

Sound Horeg dan Dampak Kebisingan yang Meresahkan

Sound horeg adalah kegiatan menggunakan sistem audio berukuran besar yang disusun tinggi hingga menghasilkan suara sangat keras-bahkan mencapai tingkat kebisingan sekitar 130-135 desibel (CNN Indonesia, 2025).

Alih-alih menjadi hiburan yang menyenangkan, tingkat kebisingan ini justru berpotensi menimbulkan gangguan pendengaran, stres, dan gangguan tidur. Selain itu, getaran dari sound horeg dapat merusak rumah warga di sekitar lokasi acara, memecahkan genting, hingga meruntuhkan tembok.

Fenomena ini pun sering memicu konflik sosial karena digelar di lokasi padat penduduk dan jalan umum, sehingga menimbulkan kemacetan dan keresahan masyarakat. Ironisnya, pelaksana kegiatan jarang menunjukkan tanggung jawab atas dampak yang terjadi.

Ketika Tradisi Kehilangan Nilai dan Aturan

Sebuah tradisi seharusnya memiliki nilai moral dan sosial yang positif. Tradisi yang baik mempererat hubungan antarwarga dan menjunjung etika bersama. Jika suatu kegiatan justru menimbulkan kerusuhan dan gangguan publik, sulit rasanya menyebutnya sebagai "tradisi".

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur telah mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 yang mengharamkan penggunaan sound horeg dengan intensitas suara berlebihan karena dapat membahayakan kesehatan dan ketertiban umum. Fatwa tersebut juga diperkuat dengan surat edaran dari Gubernur Jawa Timur, Kapolda, dan Pangdam V/Brawijaya yang mengatur batas kebisingan maksimal 120 desibel untuk kegiatan statis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun