Fenomena sound horeg tengah marak di berbagai daerah Indonesia, terutama di Jawa Timur. Apakah ini bisa disebut tradisi baru, atau justru bentuk hiburan yang mengganggu kesehatan dan ketertiban masyarakat? Berikut ulasan dan refleksinya.
Tradisi Indonesia dan Fenomena Baru Bernama Sound Horeg
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan tradisi dan budaya. Dari Sabang sampai Merauke, berbagai kebiasaan turun-temurun menjadi bagian dari identitas bangsa yang memperkuat rasa persatuan dan nasionalisme. Tradisi-tradisi tersebut tidak hanya menjadi warisan leluhur, tetapi juga sarana mempererat hubungan sosial antarwarga.
Namun, di tengah arus modernisasi, muncul fenomena baru yang disebut "sound horeg." Fenomena ini awalnya berkembang di Jawa Timur dan kemudian menyebar ke berbagai daerah. Sayangnya, "tradisi" baru ini justru menimbulkan perdebatan. Banyak yang menilai bahwa sound horeg lebih banyak membawa dampak negatif bagi kesehatan, lingkungan, dan sosial masyarakat.
Sound Horeg dan Dampak Kebisingan yang Meresahkan
Sound horeg adalah kegiatan menggunakan sistem audio berukuran besar yang disusun tinggi hingga menghasilkan suara sangat keras-bahkan mencapai tingkat kebisingan sekitar 130-135 desibel (CNN Indonesia, 2025).
Alih-alih menjadi hiburan yang menyenangkan, tingkat kebisingan ini justru berpotensi menimbulkan gangguan pendengaran, stres, dan gangguan tidur. Selain itu, getaran dari sound horeg dapat merusak rumah warga di sekitar lokasi acara, memecahkan genting, hingga meruntuhkan tembok.
Fenomena ini pun sering memicu konflik sosial karena digelar di lokasi padat penduduk dan jalan umum, sehingga menimbulkan kemacetan dan keresahan masyarakat. Ironisnya, pelaksana kegiatan jarang menunjukkan tanggung jawab atas dampak yang terjadi.
Ketika Tradisi Kehilangan Nilai dan Aturan
Sebuah tradisi seharusnya memiliki nilai moral dan sosial yang positif. Tradisi yang baik mempererat hubungan antarwarga dan menjunjung etika bersama. Jika suatu kegiatan justru menimbulkan kerusuhan dan gangguan publik, sulit rasanya menyebutnya sebagai "tradisi".
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur telah mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 yang mengharamkan penggunaan sound horeg dengan intensitas suara berlebihan karena dapat membahayakan kesehatan dan ketertiban umum. Fatwa tersebut juga diperkuat dengan surat edaran dari Gubernur Jawa Timur, Kapolda, dan Pangdam V/Brawijaya yang mengatur batas kebisingan maksimal 120 desibel untuk kegiatan statis.
Selain itu, peserta kegiatan dilarang membawa minuman keras, narkotika, dan senjata tajam untuk mencegah potensi kericuhan di lokasi acara.
Menata Ulang Makna Hiburan Rakyat
Fenomena sound horeg seharusnya menjadi bahan refleksi bagi kita: apakah semua bentuk hiburan pantas disebut tradisi? Hiburan sejati seharusnya membawa kegembiraan tanpa menimbulkan kerusakan.
Masyarakat Indonesia terkenal kreatif dalam menciptakan hiburan rakyat. Namun, diperlukan kesadaran untuk menempatkan hiburan pada porsi yang tepat, tanpa mengorbankan kenyamanan sosial dan kesehatan lingkungan. Bila tidak diatur, hiburan semacam ini berpotensi mengikis nilai-nilai tenggang rasa dan gotong royong yang selama ini menjadi ciri khas budaya bangsa.
Kesimpulan: Antara Tradisi dan Tanggung Jawab Sosial
Tradisi yang baik lahir dari kebijaksanaan, bukan sekadar kebiasaan yang ramai diikuti. Sound horeg mungkin terlihat sebagai bentuk ekspresi dan hiburan modern, tetapi tanpa aturan dan nilai, kegiatan ini hanya menjadi sumber kebisingan dan kerugian sosial.
Sudah saatnya masyarakat dan pemerintah bekerja sama mengatur fenomena ini agar tidak mengganggu ketertiban umum. Karena pada akhirnya, tradisi sejati adalah tradisi yang menyatukan masyarakat, bukan yang memekakkan telinga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI