Mohon tunggu...
SISCA A SIANTURI
SISCA A SIANTURI Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah seorang Mahasiswa jurusan Manajemen Keuangan Negara yang tertarik dengan perkembang ilmu pengatahuan dan teknologi terutama di bidang keuangan dan bisnis di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Reksadana yang Aman, Menuju Saham yang Terlalu Menakutkan

10 Oktober 2025   20:09 Diperbarui: 10 Oktober 2025   20:09 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hai teman-teman, pernah ngalamin gak sih, punya satu tempat persembunyian yang bikin kamu nyaman banget? Buat saya, itu tempatnya adalah aplikasi Reksa Dana saya. Setiap bulan, saya selalu cek, dan biasanya ada tambahan kecil di sana. Nggak banyak, sih. Mungkin cuma seharga segelas kopi atau dua bungkus mie instan. Tapi rasanya... tenang. Sambil ngeliatin angkanya yang naik pelan-pelan, saya bisa bernapas lega, "Ah, bulan ini ada sesuatu yang saya lakukan untuk masa depan." Apalagi dibarengi dengan persentase kenaikan keuntungan yang tiap bulan juga bertambah, apa tidak gembira hati saya?

Itu adalah taman pribadi saya. Aman, teratur, dan nggak perlu dipikirin. Pokoknya setiap kali buka aplikasi itu, pasti warna hijau menyambutku yang menandakan terjadi penambahan uang dari bunga reksadana yang kupunya. Dulu sih, tiap buka rekening di akhir bulan selalu ada notifikasi biaya admin yang jarang banget menutup bunga tabungan, sehingga uang saya berkurang. Memang tidak banyak sih, tapi kalau misalnya tiap bulan lumayan juga bisa beli buku. 

Tapi ternyata, kenyamanan itu tidak bertahan lama. Saya bertemu teman yang ternyata hampir tiap hari membuka chart. Membuat saya penasaran, apalagi kalau mereka sudah mengatakan, "Lumayan kemarin dapat untung 15%, sebelumnya sempat jatuh loh". Percakapan yang menarik, tapi saya bingung kala itu. Yaps, mereka sudah berbicara tentang saham.

Setiap denger itu, yang ada di kepala saya cuma dua hal: pertama, "Wih, keren." Kedua, "Terus... gimana cara mainnya?" Dan diikuti oleh rasa takut yang nyerempet-nyerempet. Saya jadi merasa seperti anak kecil yang lagi asik main pasir di halaman, sambil ngeliatin anak-anak lain yang lagi naik roller coaster. Pengen ikutan, tapi takut jatuh dan muntah-muntah. 

Kegagalan yang membuat Penasaran

Bulan-bulan berlalu, perang batin saya makin jadi. Sisi FOMO (Fear Of Missing Out) saya berteriak, "Coba ah, siapa tahu kamu bisa! Jangan ketinggalan kereta!" Tapi sisi penakut saya langsung jawab, "Nggak ah! Itu uang jajan bulan ini, lho! Kalau habis gimana? Mau makan apa?"

Dan suatu ketika, saya iseng menggunakan uang jajan saya yang tidak banyak untuk ikut membeli salah satu saham dengan aplikasi reksadana saya yang juga ada fitur jual beli sahamnya. Dan yaps, tanpa belajar langsung nyempung, saya pun tenggelam. Merah sampai 2,7%, ruginya tidak banyak tapi berhasil membuat saya langsung keluar dari aplikasi tersebut setelah menjualnya sebelum semakin merah. Pengalaman pertama itu ternyata sempat membuat saya takut, sebelum akhirnya meyakinkan diri untuk mencoba lagi.

Saya coba deh buka-baca artikel tentang saham. Eh, malah pusing. Istilah-istilah seperti bearish, bullish, cut loss, support resistance itu kayak bahasa alien. Grafiknya yang naik turun drastis itu kayak detak jantung orang lagi lari maraton. Setiap kali hampir pencet tombol "beli", tangan saya langsung dingin. "Nggak, deh. Nanti dulu." Dan saya pun kabur lagi, lari ke taman Reksa Dana saya yang hangat dan nyaman, karena takut merah lagi. 

Sampe Suatu Hari, Saya Capek Lari

Saya capek terus-terusan dikejar rasa takut. Saya putuskan, "Ya udah, sekarang saya mau ngerti, bukan mau takut." Saya mau tahu, gimana kerja saham ini sebenarnya.

Dan akhirnya, saya nemu analogi yang ngena banget di hati saya. Ini tentang makanan, guys.

Reksa Dana itu pesen antar makanan. Gampang banget. Mau lagi ngantuk, males masak, buka aplikasi, pilih menu, deh. Nanti ada kurirnya (Manajer Investasi) yang antarin makanan udah jadi ke depan pintu. Makanannya udah komplit, ada nasi, lauk, sayur. Kita tinggal makan. Ya, kita bayar ongkir dan sedikit jasa antarnya, tapi kita nggak usah pusing masak.

Nah, Saham itu masak sendiri. Dari nol. Kita yang harus belanja bahan (pilih perusahaan), cek kesegaran sayur dan dagingnya (riset), terus kita yang musti potong, bumbuin, masak, dan ngatur apinya (analisis dan keputusan jual-beli). Kalau masakannya enak banget dan banyak yang suka (harga saham naik), ya puas banget, dan semuanya jadi milik kita. Tapi kalau kita kebanyakan garam atau sampe gosong? Ya... ya udah, kita sendiri yang maksa makan masakan kita itu.

Berusaha mencoba lagi

Setelah mulai mengeri, rasa takut saya nggak ilang, tapi berubah jadi rasa hormat dan semakin dibuat penasaran. Saya nggak langsung jual semua Reksa Dana saya. Itu sama aja bodohnya dengan orang yang biasa pesan makanan terus tiba-tiba pengen buka restoran bintang lima.

Yang saya lakuin adalah... saya tetep pesen makanan rutin saya (Reksa Dana). Tapi, saya alokasikan duit sisa, duit yang emang saya siapin buat "coba-coba masak", buat beli saham.

Saya pilih satu saham dari perusahaan yang produknya saya suka dan saya paham. Pas mau pencet tombol "beli" buat pertama kali, jari saya gemetar, guys. Beneran. "Ini beneran nih? Duit ini bakal ilang lagi gak ya nanti?" Tapi setelah ke pencet, ada perasaan aneh. Campur aduk antara "apa yang saya lakukan?" dan "Heh, gila, saya akhirnya mencoba lagi!"

Sekarang, saya masih suka pesen makanan (Reksa Dana) buat kebutuhan pokok finansial saya. Tapi saya juga sesekali masak sendiri (main saham) buat seneng-seneng dan belajar.

Sekarang saya nggak lagi ngelihat mereka sebagai musuh yang harus dipilih. Mereka cuma dua cara berbeda untuk mengisi perut. Kadang kita butuh yang praktis, kadang kita pengen yang seru. Kalau memang kita bisa melakukan analisis fundamental (berdasarkan laporan keuangan perusahaan) atau analisis teknikal (berdasarkan grafik) kita bisa mendapatkan keuntungan. Karena saya juga masih pemula, saya belum berani untuk menggunakan banyak uang, sehingga ya untungnya gak banyak. Tapi, saya juga beberapa kali cut loss untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Untuk bermain saham, teman-teman juga perlu untuk mempelajari psikologi keuangan itu ya, tentang bagaimana kita tetap tenang ketika harganya turun, dan bagaimana kita bisa merasa cukup untuk ambil keuntungan (jangan serakah, nanti malah bisa rugi loh).

Jadi, kalau kamu sekarang lagi di posisi saya dulu, yang lagi ngerasa saham itu sesuatu yang serem banget, coba deh dipikir-pikir lagi. Takut itu wajar. Tapi jangan biarkan rasa takut itu bikin kamu jadi cuma bisa ngeliatin dari jauh. Mulai dari yang aman, pelajari pelan-pelan, dan siapkan duit kecil buat "coba masak" pertama kamu. Siapa tahu, kamu ternyata punya bakat terpendam jadi chef. Oh iya, saham kalau kita tidak memakai ilmu sama saja dengan judi loh teman-teman. Jadi jangan lupa untuk belajar dulu ya sebelum terjun ke dunia saham. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun