Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... freelancer

Penulis Cerpen "Astaga! KKN di Desa Legok" dalam buku KKN Creator (2024). Fokus cerpen dan story telling. Skill business analyst, SMEs, green productivity, and sustainability. Kolaborasi, kontak ke wiryawansisca@gmail.com yang ingin dianalisis laporan keuangan, dll e-mail saja bahan2nya.dah biasa kerja remote. trims bnyk

Selanjutnya

Tutup

Horor

Misteri Caraka, Bab 24, Patah Hati

11 April 2025   16:00 Diperbarui: 11 April 2025   15:20 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patah hati. Sumber: pixabay.

Rani membaca pesan masuk di handphonenya. Bulir-bulir kristal perak berjatuhan. Satu demi satu menuruni pipinya.

Sandy: Maaf, Ran. Aku langsung pulang ke rumahku. Terima kasih banyak sudah mengizinkanku menginap di rumahmu. Salam untuk Mama-mu.

Rani sungguh tak mengerti. Apa yang salah? Apakah ada kata-katanya yang menyinggung perasaan Sandy? Sementara itu, Sandy sudah meneguhkan hatinya. Tak boleh lagi ada sedikit pun benih cinta yang tumbuh untuk Rani. Mereka berdua sama sekali tak cocok. Ini yang terbaik.

Sebenarnya, Rani mengetahui jurang perbedaan antara dirinya dan Sandy begitu lebar. Ia yang berpikiran liberal. Sementara Sandy konvensional. Ia yang mengagumi filsafat dan logisme. Sementara Sandy sangatlah religius. Perbedaan mendasar inilah yang membuat teman-teman kuliah mereka berdua tak mendukung hubungan keduanya secara terang-terangan. Tentu saja mereka tak berani mengutarakan opini mereka secara langsung pada Sandy. Tapi mereka mempengaruhi Rani yang lebih terbuka.

Rani tipe gadis melankolis. Tak mudah memperoleh hatinya. Tapi sekali ia jatuh cinta, ia bertekuk lutut. Ketika kecewa akan cinta, diperlukan bertahun-tahun untuk melupakan trauma cintanya. Dan teman-teman terdekatnya mengerti karakteristiknya tersebut.

Sandy sang pemuda idaman. Ia supel dan mudah bergaul. Tapi ia tak akan pernah bisa lepas dari adat istiadatnya. Gadis tipe idealnya ialah gadis manis yang sholehah.

Teman-teman Sandy ialah teman-teman Rani juga. Mereka tak ingin hubungan persahabatan yang indah hancur begitu saja karena cinta dari dua dunia yang berbeda. Semuanya berpendapat inilah yang terbaik untuk Sandy dan Rani. Tapi, benarkah demikian?

Rani tak tahan lagi akan siksaan cinta ini. Ia bisa gila jika tak mengetahui kebenarannya. Apakah Sandy mencintainya? Ataukah, binar-binar cinta di pupil kelam Sandy itu hanya bayangan semata? Maka, Rani pun menyusut air matanya. Akhir-akhir ini ia begitu cengeng. Tak seperti dirinya yang biasa. Ia yang biasa menyembunyikan segala emosi dalam cangkang tak kasat mata, sekarang kelimpungan menahan segala luapan rasa. Tak ingin ia merasakan cinta yang seperti ini. Cinta, sesal, cinta, ragu, cinta, cemburu ...

Sekali lagi Rani menatap bayangan wajahnya di cermin hias besar ruang tidurnya. Wajahnya sendiri terasa asing. Matanya cekung. Kulit wajahnya pucat. Ia pun tersenyum dan berusaha mengumpulkan segala keberaniannya. Matanya tampak berbinar-binar penuh semangat.

Lebih baik sekarang daripada menyesal kemudian hari. Tak apalah ditertawakan karena bersikap agresif dibanding hanya bermurung durja setiap hari. Rani tahu dirinya tak cantik luar biasa, tapi ia cukup menarik.

Dengan optimisme tinggi, Rani pun menelepon Sandy. Inilah kali pertama Rani memberanikan diri untuk meraih cinta. Biasanya, ia tak perlu memperjuangkan apa pun. Tak ada rasa cinta yang kuat. Hanya suka sekilas dan menerima pernyataan cinta dari si pria. Hambar. Sekarang ia baru mengerti bahwa ia telah bertindak keji pada pria-pria yang menaruh hati padanya. Karma sedang menerpa dirinya. Apa boleh buat.

"Hallo, Sandy?" sapa Rani.

"Hallo, ini siapa?"

"Ini Rani. Masa kau tak ingat suaraku?" tanya Rani dengan segumpal rasa kecewa di hati. Ah, begitu mudah Sandy melupakan dirinya. Seketika keberaniannya untuk menyatakan perasaan cinta pun menciut bagaikan balon gas ditusuk jarum.

Suara tawa Sandy terdengar begitu lepas. Mungkinkah masih ada asa untuk Rani?

"Hai, Rani. Ada apa, ya? Kok tumben kau meneleponku?"

"Hmm..." Tiba-tiba Rani merasa suaranya tercekik.

"Hmm...juga..."

Rani mendeham. Ia berusaha untuk mengumpulkan segala keberaniannya. Dalam hati Rani, ia mengutuk Sandy yang malah menggoda dirinya. "San, aku ingin berbicara serius. Tapi kau jangan tertawa, ya?"

"Memangnya ada masalah apa?"

"Janji dulu!" tegas Rani.

Kembali terdengar suara tawa kecil Sandy. "Iya, aku janji."

"Jangan memberitahu siapa pun tentang hal ini!"

"Kau main rahasia-rahasiaan apa?"

"Janji dulu."

"Iya, Nona Besar. Aku berjanji untuk tidak tertawa dan menjaga rahasia," ujar Sandy dengan nada suara dilambat-lambatkan. Kemudian, tawanya pun pecah kembali.

Rani menggigit bibir. Ugh, ternyata menyatakan cinta itu sulit luar biasa bagaikan mengeluarkan katak yang menyangkut di kerongkongan. "Janji jangan marah?"

"Kau ini kenapa? Masa aku harus janji terus-menerus? Memangnya kau ada masalah berat, ya?"

"Bukan masalah berat. Tapi berat juga..."

"Hah?"

"A...aku...aku..." Rani merasa sesak napas. Tak mudah mengakui kebenaran akan perasaan cinta.

"Kenapa dengan dirimu? Ayolah tarik napas dulu. Kau terdengar begitu tegang. Tarik napas...buang napas...tarik napas...."

"Memangnya aku mau melahirkan? Harus tarik napas...buang napas..." gerutu Rani dengan nada suara semanja anak kucing.

Kekehan Sandy tambah membuat kesal Rani. Ada apa dengan Sandy hari ini? Tak biasanya ia begitu usil. Apa ia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Rani?

Keheningan yang canggung mewarnai mereka berdua. Pada dasarnya, Sandy dan Rani bukan tipe yang pandai berkomunikasi. Mereka sekaku kawat besi dalam menyampaikan perasaan.

"Jadi, kau meneleponku?"

Rani memejamkan mata. Ia ingin mengakhiri malam-malam resah tak berkesudahan. Tak ingin ia hidup dalam ketidakpastian. Oleh karena itu, dengan suara sepelan cicitan cucunya tikus, ia pun berkata," Sandy, aku cinta padamu."

"Apa?"

"Dengarkan baik-baik! Aku cinta padamu."

"Apa? Maaf, Ran. Sinyal telepon di areaku buruk sekali. Aku tak bisa mendengar jelas ucapanmu."

Hah! Bahkan, alam semesta pun tak berpihak pada diri Rani. Apakah ia harus mengulang terus-menerus pernyataan cinta ini? Lagi dan lagi seperti siaran ulang radio usang? Maka, Rani pun mengeraskan suaranya. "SANDY JELEK, AKU CINTA PADAMU."

Sandy yang mendengar nada pernyataan cinta Rani yang seperti orang mengajak bertengkar pun tak bisa menahan rasa gelinya. Ia tertawa sangat keras seperti belum pernah tertawa riang seumur hidupnya.

Tentu saja Rani yang mendengar respon tersebut sangat jengkel. Dengan nada sedingin salju di puncak Pegunungan Himalaya, ia pun bertanya, "Sudah puas tertawanya?"

"Aduh, maafkan aku! Jangan marah, Ran! Aku bukan bermaksud menertawakan cintamu. Tapi caramu menyatakannya itu begitu unik. Terimakasih banyak ya atas cintamu," ujar Sandy sembari berusaha menahan keras tawanya. Ia pun menghapus air mata tawa. Gadis ini memang lain daripada yang lain. Siapa yang menyangka gadis melankolik ini berani menyatakan cinta pada dirinya? Sebenarnya, ia merasa tersanjung. Tapi...

"Jadi, apa jawabanmu?" desak Rani.

"Ran, aku sungguh menyesal."

"Ah, ya sudah. Aku memang tak cukup baik untukmu."

Nada suara sedih itu sungguh menyentuh perasaan Sandy. Ya, harus ia akui. Tunas-tunas cinta itu memang pernah ada. Tapi...

"Bukan begitu. Hey, dengarkan dulu penjelasanku! Okay?"

"Okay."

Begitu lesunya suara itu. Ke mana tadi suara yang penuh semangat itu? Sandy pun melembutkan nada suaranya. Bagaimanapun, gadis ini pernah berada dalam hatinya walaupun sejenak. Atau, mungkin dua jenak? Tiga jenak? Entahlah! "Ran, aku sangat menyukaimu sebagai sahabat."

"Klise! Aku tutup teleponnya, ya?"

"Dengarkan dulu!"

"Ya."

"Aku baru saja bertunangan. Tiga bulan lagi aku akan menikah dengan Ismi. Kau tahu Ismi, kan?"

"Mana mungkin aku tak tahu Ismi. Ia memang cantik."

"Bukan itu masalahnya. Kau juga cantik. Pokoknya, aku akan menikah dengan dirinya karena kami merasa cocok satu sama lain. Aku pun cinta dirinya."

"Ya."

"Kau mengerti, kan?"

"Ya."

"Kita tetap bersahabat?"

"Ya?"

"Kau tak marah?"

"Ya."

"Mengapa hanya jawab ya terus-menerus?"

"Lalu, aku harus jawab apa?"

"Kasih selamat aku."

"Selamat ya. Semoga berbahagia dan lancar hingga menikah."

"Aamiin."

"..."

"Aku berdoa untuk kebahagianmu. Kau juga pasti akan memperoleh jodoh terbaik. Bahkan, yang lebih baik dari diriku."

"Ya."

"Ya lagi."

"Ya sudah. Maaf aku sudah mengganggu waktumu. Selamat malam."

"Jangan lupa bahagia!"

"Ya. Aku tutup teleponnya, ya?"

"Ya."

KLIK. Selesai sudah. Bendungan Rani pun jebol. Ia menangis semalaman hingga kedua matanya bengkak. Bahkan, masih berlanjut hingga 40 malam. Karena sulit tidur berhari-hari, ia pun sakit typhus. Memang cinta tak pernah mudah bagi seorang Rani.

 

Walaupun demikian, Rani tak pernah menyesalinya. Sejak saat itu, Rani memetik pelajaran berharga akan cinta. Jika mulai merasa cinta pada seorang pria, jangan ragu untuk memulainya sebelum si dia direbut perempuan lain! Tapi untuk saat ini, Rani tak ingin jatuh cinta pada siapa pun. Ia hanya ingin dipeluk oleh kepekatan malam.

Selamat tinggal, cintaku!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun