Hati Rani senang bercampur gugup. Senang karena akan tinggal jauh dari ayahnya yang diktator. Gugup karena ia tak mengetahui pengalaman apa yang akan menunggunya di kampus yang dekat gunung kapur tersebut. Belum pernah ia menginap di luar, tanpa orangtuanya.
Tak urung, Rani agak ngeri membayangkan mapram yang akan ia ikuti lusa. Apakah mentalnya yang penakut akan sanggup menghadapi kegalakan dewa mapram? Mana universitas yang ia masuki merupakan universitas yang dimiliki TNI AD. Tentu sangat disiplin.
Rani mengguling-gulingkan tubuhnya ke kiri dan kanan. Berulangkali ia mendesah. Apakah semuanya akan baik-baik saja? Apakah teman-teman kuliahnya akan bersikap baik? Sedangkan saat SMU pun, ia merasa sulit beradaptasi dengan teman-teman sebayanya. Masih terngiang kalimat penuh tuduhan yang dilontarkan wali kelasnya, “Bu Caraka, siapa Om-om yang sering mengantar jemput Rani? Apakah anak Ibu menjual diri pada om senang?”
Tak kepalang marahnya Bu Caraka mendengar tuduhan tak berdasar itu. “Maaf, Bu. Saya memang bukan konglomerat, tapi saya masih sanggup mencukupi seluruh kebutuhan hidup Rani. Yang mengantar jemput Rani itu bukan om senang, melainkan kerabat saya. Pak Sukma itu bukan orang hina seperti yang Ibu fitnah.”
Bu Caraka yang murka pun mengeluarkan Rani dari sekolah hari itu juga, walaupun Rani duduk di kelas 3 SMU dan hendak menghadapi ujian akhir. Ibu unik yang satu ini memang berprinsip, tak ada hal yang tak bisa digantikan.
“Untuk apa sekolah di tempat yang suka membully seperti itu? Sudah kau dimusuhi teman-teman sekelasmu hanya karena nilai Matematikamu yang tertinggi, masa sekarang wali kelasmu pun ikut membully? Masih ada sekolah lain yang mendidik muridnya dengan jauh lebih baik. Jadi, sekolah pun jangan terlampau angkuh. Cukup kakakmu, Almarhum Dimas, yang dibully di sekolah,” gerutu Bu Caraka.
Rani menatap langit-langit ruang tidurnya. Ia merasa begitu kesepian. Kedua matanya terasa hangat. Mengapa begitu sulit diterima oleh teman-teman sebaya? Mengapa begitu sulit menyenangkan hati teman?
Tanpa Rani sadari, di balik pintu ruang tidurnya yang agak terbuka, ada sepasang mata kristal yang mengintai. Bocah mistis berwajah polos itu tak mengerti mengapa Rani harus menangis. Lebih baik ia bermain dengan dirinya, bukan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI