Kikikikik!
Suara siapa? Cekikikan itu seperti suara bocah laki-laki. Tapi tak ada anak laki-laki di rumah ini. Apakah Rani masih mengembara dalam alam mimpi?
KIKIKIKIK!
KIKIKIKIK!
KIKIKIKIK!
Suara cekikikan itu malah semakin lantang terdengar. Rani pun membuka kedua matanya yang sangat berat karena kantuk. Ia pun memutuskan untuk mengintip. Khawatirnya, ada pencuri. Sepertinya suara itu berasal dari ruang garasi yang berada di sebelah ruang perpustakaan mini.
Lampu ruang garasi tampak berkedap-kedip bagaikan lampu disko. Rani pun tercengang. Bulu kuduknya merinding. Si tuyul sedang asyik memainkan helm in-line skate. Helm merah itu melayang udara dan berputar-putar menggasing. Kemudian, si tuyul menampakkan diri dengan helm di atas kepalanya. Ia tersenyum ceria pada Rani. CHEERS!
Sejak kejadian helm terbang tersebut, tuyul menganggap dirinya ialah bagian keluarga Caraka. Ia sering muncul di sudut-sudut rumah kesatu dan kedua sembari nyengir. Ia juga senang duduk di atas atap mobil atau motor yang disimpan di garasi. Sepertinya, ia sesosok tuyul yang sering dikirim oleh majikannya untuk mencuri di rumah keluarga Caraka, tapi entah mengapa ia membelot karena lebih betah tinggal bersama keluarga tersebut. Halaman rumah keluarga Caraka memang cukup luas dengan pohon-pohon buah yang rindang sehingga merupakan arena bermain yang sempurna bagi para hantu. Welcome to the Jungle! Selain itu, keluarga Caraka menerapkan sistem tak mau diganggu hantu dan tak mau mengganggu hantu.
Tuyul yang Rani lihat tidaklah seimut Casper, tapi juga tidak seseram mitos yang beredar. Berbeda dengan mitos yang menyatakan tuyul itu pendek, tuyul yang satu ini bertubuh tinggi kurus alias cingkrang khas remaja tanggung, yaitu pertumbuhan ke atas, dan bukan ke samping. Wajahnya khas anak kecil yang polos dengan kulit pucat kebiru-biruan. Kepalanya plontos. Ia juga memiliki gigi taring yang tipis, runcing, dan panjang.
Sejak dulu Pak Caraka pikun. Memang orang pemarah biasanya pikun. Ia sering mengeluh kehilangan uang, mulai dari puluhan ribu hingga ratusan ribu. Bahkan, ia pernah kehilangan seluruh gajinya yang terletak dalam amplop cokelat. Tentu saja interogasi yang dilakukan Pak Caraka terhadap istri dan anak perempuannya, sangat tak menyenangkan. Keduanya berdiri berjajar seperti prajurit yang menunggu hukuman dari komandan. Pak Caraka tak segan menuduh anggota keluarganya sendiri. Untunglah, ia tak berani menuduh asisten rumah tangga karena tak ada bukti.
“Kalian berdua bersekongkol untuk mencuri uangku, ya? Kulihat Mama baru membeli mesin cuci baru. Tas sekolah Rani juga baru. Jawab!” Desak Pak Caraka. Wajahnya merah padam.
“Papa ini bagaimana? Masa menuduh keluarga sendiri sebagai pencuri. Mama kan punya penghasilan sendiri. Malah penghasilan Mama jauh lebih besar dibandingkan Papa.”
“Sombong ya kau sekarang? Lupa kacang pada kulitnya. Tak ingat kau berasal dari keluarga kere?” hina Pak Caraka sembari menampar pipi kanan Bu Caraka. Warna merah menyebar di pipi Bu Caraka.
Walaupun drama rumah tangga tersebut sudah biasa dilihat oleh Rani, tetap saja kedua matanya berlinang. Hatinya terasa nyeri melihat perlakuan sewenang-wenang sang ayah.
Pak Caraka memang ceroboh dan pelupa. Ia pernah meletakkan amplop gajinya di atas mobil. Untungnya, ada sekuriti perusahaan yang kebetulan melihat dan memberitahunya. Tapi, kemunculan tuyul di rumah keluarga Caraka menimbulkan segala prasangka. Apakah selama ini tuyul yang mencuri uang Pak Caraka? Rani memang memiliki kemampuan mistis untuk melihat roh halus seperti Si Hawuk, roh penunggu rumah kedua. Tapi ia baru saja menyadari keberadaan tuyul di rumahnya saat ia berusia 17 tahun.
Uniknya, sejak Rani melihat penampakan tuyul di rumah, tidak pernah lagi ada kejadian kehilangan uang. Tapi sebaliknya, dedikasi si tuyul sangat mengejutkan. Tuyul seringkali meletakkan uang upeti di dompet Bu Caraka sebagai tanda balas jasa tinggal tanpa izin.
“Ranran, kau yang meletakkan uang 50 ribu Rupiah di dompet Mama?” tanya Bu Caraka sembari mengernyitkan kening. Ia melambaikan uang kertas tersebut.
Rani menggelengkan kepala. “Mungkin Mama lupa. Uang kembalian belanja?”
“Ini bukan yang pertama kali kejadian seperti ini.”
“Mungkin tuyul?”
“Hush! Mana mungkin.”
“Aku dan Ceu Engkus beberapa kali melihat penampakan tuyul.”
“Papa tak akan suka jika kau percaya hal mistis. Pantang kita membicarakan hal mistis di rumah ini.”
Rani mengangkat bahunya. Apa sih yang Papa suka? Papa kan hanya suka uang, mobil mewah, dan perempuan cantik seksi seperti Kak Mia, kerabat Bu Caraka. Padahal Kak Mia tidak terlampau menyukai Papa, tapi Papa maju terus pantang mundur. Ia heran mengapa ibunya tetap mempertahankan tali pernikahan.
“Jika Mama khawatir, uangnya untuk jajan Rani saja,” usul Rani dengan mata berbinar. Lumayan! Bisa beli es krim matcha Cimory.
“Jangan! Sebaiknya, uangnya didonasikan saja. Tak baik memakai uang yang tak jelas asal usulnya. Nanti jadi tumbal jika bersekutu dengan makhluk mistis.”
“Kata Mama, jangan percaya hal mistis. Jadi, aku harus menuruti kalimat Mama yang mana?”
“Jangan suka mendebat orang tua! Nanti kau susah jodo. Tak ada pria yang menyukai gadis yang keras kepala,” sergah Bu Caraka agak jengkel.
Rani menghembuskan napas. Tak mudah menyatukan perbedaan antara 2 generasi.
Tuyul pun bersikeras untuk tinggal bersama keluarga Caraka selama bertahun-tahun. Ya, sudahlah. Biarkan saja tuyul menemukan kebahagiaannya sendiri. Mungkin ia lelah memiliki majikan yang diktator dan ambisius. Tuyul juga memiliki hak untuk mengejar kebahagiaannya sendiri.
***
Rani baru saja membereskan segala perlengkapan. Rok panjang, celana panjang denim, kemeja, baju tidurnya yang bermotif Mickey Mouse, kaus kaki putih, pakaian dalam, dan sepatu sneaker, sudah tertata rapi dalam koper besar. Ya, besok subuh Rani akan berangkat ke Cimahi untuk melanjutkan studi di Universitas Jenderal Achmad Yani.
Hati Rani senang bercampur gugup. Senang karena akan tinggal jauh dari ayahnya yang diktator. Gugup karena ia tak mengetahui pengalaman apa yang akan menunggunya di kampus yang dekat gunung kapur tersebut. Belum pernah ia menginap di luar, tanpa orangtuanya.
Tak urung, Rani agak ngeri membayangkan mapram yang akan ia ikuti lusa. Apakah mentalnya yang penakut akan sanggup menghadapi kegalakan dewa mapram? Mana universitas yang ia masuki merupakan universitas yang dimiliki TNI AD. Tentu sangat disiplin.
Rani mengguling-gulingkan tubuhnya ke kiri dan kanan. Berulangkali ia mendesah. Apakah semuanya akan baik-baik saja? Apakah teman-teman kuliahnya akan bersikap baik? Sedangkan saat SMU pun, ia merasa sulit beradaptasi dengan teman-teman sebayanya. Masih terngiang kalimat penuh tuduhan yang dilontarkan wali kelasnya, “Bu Caraka, siapa Om-om yang sering mengantar jemput Rani? Apakah anak Ibu menjual diri pada om senang?”
Tak kepalang marahnya Bu Caraka mendengar tuduhan tak berdasar itu. “Maaf, Bu. Saya memang bukan konglomerat, tapi saya masih sanggup mencukupi seluruh kebutuhan hidup Rani. Yang mengantar jemput Rani itu bukan om senang, melainkan kerabat saya. Pak Sukma itu bukan orang hina seperti yang Ibu fitnah.”
Bu Caraka yang murka pun mengeluarkan Rani dari sekolah hari itu juga, walaupun Rani duduk di kelas 3 SMU dan hendak menghadapi ujian akhir. Ibu unik yang satu ini memang berprinsip, tak ada hal yang tak bisa digantikan.
“Untuk apa sekolah di tempat yang suka membully seperti itu? Sudah kau dimusuhi teman-teman sekelasmu hanya karena nilai Matematikamu yang tertinggi, masa sekarang wali kelasmu pun ikut membully? Masih ada sekolah lain yang mendidik muridnya dengan jauh lebih baik. Jadi, sekolah pun jangan terlampau angkuh. Cukup kakakmu, Almarhum Dimas, yang dibully di sekolah,” gerutu Bu Caraka.
Rani menatap langit-langit ruang tidurnya. Ia merasa begitu kesepian. Kedua matanya terasa hangat. Mengapa begitu sulit diterima oleh teman-teman sebaya? Mengapa begitu sulit menyenangkan hati teman?
Tanpa Rani sadari, di balik pintu ruang tidurnya yang agak terbuka, ada sepasang mata kristal yang mengintai. Bocah mistis berwajah polos itu tak mengerti mengapa Rani harus menangis. Lebih baik ia bermain dengan dirinya, bukan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI