A. Pendahuluan
Setiap tanggal 12 Juli, Indonesia memperingati Hari Koperasi Nasional. Hari ini bukan sekadar seremonial, melainkan pengingat akan peran penting koperasi dalam kehidupan ekonomi rakyat. Di balik perkembangan koperasi modern, Bung Hatta berdiri sebagai pelopor yang menanamkan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi, kemandirian, dan gotong royong. Dan Bung Hatta disebut sebagai Bapak Koperasi. Namun tidak begitu bagi Menteri Kebudayaan, Fadli Zon. Menurut Menteri Kebudayaan, Fadli Zon (2025), Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia (BNI), lebih tepat disebut sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Sementara itu, Bung Hatta adalah Bapak Ekonomi Kerakyatan. Â Dan hal ini memicu kontroversi. Kontroversi ini menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Perdebatan ini bukan hanya soal gelar, tapi menyentuh memori kolektif, historiografi, dan potensi polarisasi politik di Indonesia.
B. Bung Hatta: Fondasi Koperasi dan Bapak Koperasi
Kendati sejarah mencatat bahwa cikal bakal koperasi sudah ada sejak tahun 1896 ketika Patih Aria Wiriaatmadja mendirikan usaha di Purwokerto dengan nama Hulp en Spaarbank (Bank Pertolongan dan Simpan) yang prinsip kerjanya mirip dengan koperasi, namun Bung Hatta, proklamator, kelahiran Bukittinggi, 12 Agustus 1902, adalah tokoh sentral dalam perkembangan koperasi seperti sekarang ini. Â Bung Hatta menekankan bahwa kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi hanyalah setengah dari perjuangan.
Dalam pengasingannya di Banda Neira, Maluku, pada tahun 1930-an, Hatta, bersama Sutan Syahrir dan Iwa Kusuma Sumantri dan Persatuan Banda Muda (Perbamoe), mengembangkan koperasi yang lebih riil: "membeli muatan kapal, menjualnya kembali ke masyarakat dengan harga terjangkau, dan menggunakan keuntungannya untuk membangun fasilitas umum". Pendekatan ini memotong rantai distribusi yang panjang, memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, sekaligus menanamkan prinsip-prinsip kekeluargaan dan tanggung jawab bersama.
Hatta menyatakan:Â "Koperasi adalah bentuk usaha yang berdasarkan atas asas kekeluargaan karena koperasi menjunjung tinggi kerjasama di antara para anggotanya sebagai satu keluarga dan menciptakan tanggung jawab bersama. Jadi dalam koperasi tidak ada majikan dan buruh. Oleh karena itu, satu-satunya jalan bagi rakyat untuk keluar dari kemiskinan adalah dengan memajukan koperasi di segala bidang."
Selain itu, koperasi bagi Hatta merupakan wadah demokrasi ekonomi, pendidikan kemandirian, dan gotong royong, yang kemudian diwujudkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam Pasal 33 Ayat (1) ditegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dan Pasal 33 Ayat (4) menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Asas kekeluargaan dan gotong royong inilah yang kemudian dicanangkan sebagai asas koperasi pada Kongres Koperasi I yang diselenggarakan di Tasikmalaya, 12 Juli 1947. Kongres  ini adalah pertemuan nasional pertama insan koperasi di Indonesia setelah kemerdekaan. Kemudian, tanggal 12 Juli ditetapkan sebagai Hari Koperasi Nasional. Koperasi adalah soko guru perekonomian nasional.
Atas dedikasi dan kontribusinya, pada Kongres Koperasi II di Bandung, 12 Juli 1953, Bung Hatta dianugerahi gelar resmi sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
C. Margono Djojohadikusumo: Perintis Semangat Berkoperasi, Tapi Bukan Bapak Koperasi