Era Baru, Narasi Lama yang Hilang
Enam bulan pertama pemerintahan Prabowo Subianto telah mengundang banyak perhatian, bukan karena gebrakan besar, melainkan karena kerancuan komunikasi yang konsisten, baik dari Presiden sendiri maupun para menterinya. Menariknya, Prabowo secara terbuka mengakui kelemahan ini dan mengatakan, "Itu salah saya."
Tapi benarkah ini hanya soal salah kelola komunikasi? Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang berkaitan dengan struktur kekuasaan, perubahan narasi ideologis, dan transisi politik dari bayang-bayang Jokowi ke panggung Prabowo?
Komunikasi Politik: Bukan Sekadar Gagal Bicara, Tapi Gagal Membaca Medan
Dalam ilmu komunikasi politik, kesalahan komunikasi bukanlah insiden, melainkan indikator. Saat seorang Presiden bicara A, Menteri B bicara Z, dan publik mendengar X, maka masalahnya bukan hanya koordinasi, tapi krisis dalam memahami siapa bicara untuk siapa, dalam konteks apa, dan untuk tujuan apa.
Pemerintahan Prabowo terjebak dalam dua kutub:
- Mewarisi narasi populis-transaksional Jokowi yang cair dan pragmatis.
- Tapi mencoba tampil dengan gaya negara-bangsa yang kuat dan strategis ala Prabowo.
Akibatnya, publik mendapat pesan-pesan yang tidak utuh, bahkan kontradiktif:
- Ketahanan pangan vs subsidi pangan boros.
- Pertahanan kuat vs diplomasi lemah.
- Nasionalisme vs investasi asing besar-besaran.
Transisi Kekuasaan yang Tak Pernah Selesai: Siapa Sebenarnya yang Memerintah?
Salah satu alasan mengapa komunikasi Prabowo dan para menterinya kacau adalah karena belum adanya diferensiasi narasi yang jelas dari pemerintahan sebelumnya. Banyak menteri adalah warisan Jokowi. Banyak kebijakan pun masih dalam bayang-bayang program lama.
Di sinilah komunikasi menjadi cermin: pemerintahan Prabowo seakan masih dalam mode "penyesuaian," bukan transformasi. Gaya militeristik Prabowo belum sepenuhnya cocok dengan dunia sipil yang memerlukan konsistensi, transparansi, dan keterlibatan publik.