Kita hidup di era pascakolonial secara politik. Namun, kolonialisme belum mati. Ia hanya berganti wajah, dari kapal-kapal dagang menjadi kabel serat optik, dari perampasan tanah menjadi ekstraksi data. Inilah wajah baru penjajahan: Data Colonialism.
Baca juga: AI Sebagai Cermin Kolektif: Mesin yang Tak Sengaja Menyimpan Luka Kita
Dulu Tanah, Kini Data
Selama berabad-abad, kolonialisme beroperasi dengan logika eksploitasi: menaklukkan wilayah, menguras sumber daya, dan mengendalikan penduduk lokal. Hari ini, logika itu direplikasi oleh korporasi teknologi global. Hanya saja, yang diekstraksi bukan lagi rempah, emas, atau tenaga kerja, melainkan data pribadi manusia.
Perangkat di saku kita, aplikasi yang kita unduh, media sosial yang kita nikmati, semuanya adalah titik masuk eksploitasi baru. Kita diberi "akses", namun di balik akses itu, kita menjadi sumber daya yang ditambang terus-menerus.
Baca juga: Deepfake dan Erosi Budaya Lisan: Ancaman Tersembunyi Bagi Warisan Non-Digital
Ekonomi Tanpa Izin
Kebanyakan dari kita tidak pernah membaca kebijakan privasi hingga selesai. Namun, di balik klik "Saya Setuju" itu, berlangsung kontrak tak seimbang yang memungkinkan perusahaan global mengakses, menyimpan, dan memonetisasi kehidupan kita.
Ini adalah kolonialisme tanpa tentara, tanpa peta wilayah. Tapi dampaknya nyata: keuntungan mengalir ke segelintir negara dan perusahaan, sementara pengguna di belahan dunia selatan tetap menjadi objek yang dipantau, dikendalikan, bahkan dimanipulasi melalui data.
Baca juga: Penerapan Artificial Intelligence (AI) di Indonesia: Tantangan Hukum dan Regulasi