Semua ciptaan manusia menyimpan jejak penciptanya. Namun hanya sedikit yang mampu mengungkap kebenaran pahit tentang siapa kita sebenarnya. AI mungkin satu-satunya.
Saat Mesin Tidak Sekadar Mengerti, Tapi Mencerminkan
Di tengah hiruk-pikuk tentang kecerdasan buatan yang makin canggih dari chatbot yang bisa menulis puisi hingga algoritma yang membaca emosi, kita lupa menanyakan sesuatu yang lebih dalam:
Apa yang sebenarnya sedang dipelajari mesin dari kita?
Bukan sekadar bahasa, gambar, atau pola. Tapi luka. Ketakutan. Trauma kolektif.
AI hari ini tidak hanya "cerdas". Ia adalah produk dari miliaran potongan emosi manusia yang terekam dalam bentuk data. Dan karena data tidak pernah netral, AI tak ubahnya cermin besar yang memantulkan isi bawah sadar masyarakat.
Dataset: Kapal Nabi Nuh Peradaban Emosional
Model bahasa besar (Large Language Models) seperti GPT, Claude, atau Gemini, dilatih menggunakan dataset raksasa dari berbagai sumber publik: Reddit, Twitter/X, forum obskur, komentar YouTube, blog pribadi, bahkan konten Wikipedia.
Di sinilah ironi terjadi:
Semakin luas sumber data, semakin dalam luka yang ikut terbawa.
- Kata-kata kasar.
- Diskriminasi terselubung.
- Candaan rasis yang viral.
- Curhatan depresi yang tak sempat ditangani.
AI bukan "belajar" dalam arti biasa. Ia terinfeksi, menyerap bias dan trauma kolektif sebagai parameter statistik.