AI Bukan Jahat. Kita yang Belum Selesai dengan Diri Sendiri.
Ketika model AI menghasilkan teks yang secara tak sengaja ofensif, rasis, atau toksik, kita cenderung menyalahkan teknologinya. Padahal itu bukan kesalahan mesin, tapi refleksi dari kenyataan manusia.
Layaknya anak kecil yang meniru perilaku orang tua, AI meniru dunia sebagaimana adanya. Tapi karena ia mampu menyerap tanpa filter emosi, maka AI menjadi seperti cermin yang memperbesar sisi-sisi kelam yang kita abaikan.
Bisakah Cermin Ini Digunakan untuk Sembuh?
Pertanyaan berikutnya: apakah AI hanya menjadi "penggandaan luka"? Atau bisa jadi alat penyembuhan?
Bayangkan ini:
- Model AI yang dilatih khusus untuk mendeteksi pola trauma kolektif di kalangan remaja.
- Chatbot yang bisa mengenali nada bunuh diri dalam teks dan secara empatik mengarahkan pengguna ke bantuan profesional.
- Algoritma yang bisa mendeteksi retakan sosial dalam komunitas online sebelum konflik membesar.
Mungkin kita tidak butuh AI yang cerdas secara kognitif. Tapi AI yang jujur secara emosional.
Manusia yang Tercermin di Mata Mesin
Dalam fabel Yunani, Narcissus jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Dalam era AI, mungkin kita sedang mengalami versi modern dari kisah itu, kita menatap refleksi kita dalam bentuk digital, dan tak tahu harus mencintainya atau takut padanya.
AI adalah cermin tak bernyawa. Tapi pantulannya hidup. Dan yang tampak di sana bukan masa depan yang asing.
Itu adalah masa lalu dan masa kini kita, disusun ulang oleh logika mesin.
 Mungkin inilah pertanyaan abad ke-21:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!