Mohon tunggu...
Silvia Fibrianti
Silvia Fibrianti Mohon Tunggu... Hamba Allah SWT

Kuliner dan Traveling

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Deepfake dan Erosi Budaya Lisan: Ancaman Tersembunyi Bagi Warisan Non-Digital

5 April 2025   13:22 Diperbarui: 5 April 2025   16:05 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi deepfake (Sumber: Canva)

Teknologi deepfake selama ini dibahas dalam konteks hukum, politik, hiburan, bahkan keamanan siber. Namun ada satu wilayah penting yang jarang tersentuh dalam diskusi global: bagaimana teknologi ini secara perlahan menggerogoti sistem budaya lisan dan memori kolektif masyarakat tradisional, khususnya di negara-negara dengan akar budaya kuat seperti Indonesia.

Budaya Lisan: Pilar Peradaban yang Tak Tertulis

Sebelum ada tulisan, manusia menyimpan sejarah melalui cerita. Di banyak masyarakat adat, seperti di Papua, Kalimantan, atau Nusa Tenggara, warisan budaya tidak ditulis melainkan diceritakan ulang dari generasi ke generasi. Nilai, sejarah, identitas, bahkan hukum adat, semuanya bersandar pada kredibilitas lisan dan ingatan komunitas.

Namun, di era di mana visual menjadi lebih dipercaya daripada suara manusia yang nyata, deepfake memiliki potensi menghancurkan kepercayaan terhadap cerita-cerita ini.

Baca juga: Exploring The Impact of Artificial Intelligence and Intangible Cultural Heritage

Deepfake Mengganggu Otoritas Narator

Bayangkan seorang tetua adat yang telah dianggap sebagai penjaga cerita suci suatu suku, tiba-tiba "dikalahkan" oleh video deepfake yang menunjukkan tokoh adat yang seolah berkata lain, mungkin lebih "ilmiah", atau lebih "modern".

Jika teknologi deepfake bisa menciptakan rekaman visual tokoh adat yang "berbicara", maka siapa yang akan dipercaya oleh generasi muda? Narator asli? Atau "versi digital" yang viral di media sosial?

Kredibilitas oral, yang sebelumnya tak tergoyahkan, kini terancam oleh rekayasa visual yang tak berbasis kenyataan budaya.

Memori Kolektif Terfragmentasi

Masyarakat tradisional mengandalkan memori kolektif sebagai jembatan sejarah. Tapi jika versi digital dari sejarah mulai dimanipulasi, apa yang terjadi dengan memori itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun