Teknologi deepfake selama ini dibahas dalam konteks hukum, politik, hiburan, bahkan keamanan siber. Namun ada satu wilayah penting yang jarang tersentuh dalam diskusi global: bagaimana teknologi ini secara perlahan menggerogoti sistem budaya lisan dan memori kolektif masyarakat tradisional, khususnya di negara-negara dengan akar budaya kuat seperti Indonesia.
Budaya Lisan: Pilar Peradaban yang Tak Tertulis
Sebelum ada tulisan, manusia menyimpan sejarah melalui cerita. Di banyak masyarakat adat, seperti di Papua, Kalimantan, atau Nusa Tenggara, warisan budaya tidak ditulis melainkan diceritakan ulang dari generasi ke generasi. Nilai, sejarah, identitas, bahkan hukum adat, semuanya bersandar pada kredibilitas lisan dan ingatan komunitas.
Namun, di era di mana visual menjadi lebih dipercaya daripada suara manusia yang nyata, deepfake memiliki potensi menghancurkan kepercayaan terhadap cerita-cerita ini.
Baca juga: Exploring The Impact of Artificial Intelligence and Intangible Cultural Heritage
Deepfake Mengganggu Otoritas Narator
Bayangkan seorang tetua adat yang telah dianggap sebagai penjaga cerita suci suatu suku, tiba-tiba "dikalahkan" oleh video deepfake yang menunjukkan tokoh adat yang seolah berkata lain, mungkin lebih "ilmiah", atau lebih "modern".
Jika teknologi deepfake bisa menciptakan rekaman visual tokoh adat yang "berbicara", maka siapa yang akan dipercaya oleh generasi muda? Narator asli? Atau "versi digital" yang viral di media sosial?
Kredibilitas oral, yang sebelumnya tak tergoyahkan, kini terancam oleh rekayasa visual yang tak berbasis kenyataan budaya.
Memori Kolektif Terfragmentasi
Masyarakat tradisional mengandalkan memori kolektif sebagai jembatan sejarah. Tapi jika versi digital dari sejarah mulai dimanipulasi, apa yang terjadi dengan memori itu?
Mitos dan legenda lokal bisa "dimodifikasi" untuk kepentingan wisata atau ekonomi.
Narasi konflik, penjajahan, atau pengkhianatan bisa dipelintir oleh aktor politik melalui visual deepfake untuk menimbulkan kebencian atau rekonsiliasi palsu.
Generasi muda bisa kehilangan kontak dengan versi asli cerita karena lebih percaya pada versi audiovisual.
Risiko Komersialisasi Identitas Budaya
Bayangkan tokoh mitologi lokal seperti Nyai Roro Kidul atau Sangkuriang dibuat versi deepfakenya dalam iklan atau film pendek, tanpa izin masyarakat adat. Bisa jadi deepfake menciptakan "budaya palsu" yang viral, namun tidak lagi otentik dan melukai identitas lokal.
Tanggung Jawab Etika dalam Ruang Budaya
Teknologi modern harus dipertemukan dengan kearifan lokal. Regulasi tidak cukup jika tidak disertai etiket budaya, terutama dalam memvisualisasikan identitas yang tak tertulis.
Deepfake bukan hanya ancaman bagi kebenaran objektif, tapi juga bagi kebenaran kolektif yang hidup dalam cerita-cerita lisan.
Masyarakat adat dan tradisional selama ini jarang mendapat ruang dalam diskursus digital. Tapi justru merekalah yang paling rentan, karena mereka tidak punya rekaman digital untuk membuktikan keaslian budaya mereka.
Jika tidak hati-hati, kita akan memasuki era di mana teknologi menciptakan sejarah, bukan mencatatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI