Kita sering dong ketika mendengar perjalanan hidup seseorang, baik cerita secara langsung maupun melalui audio dan visual, kita langsung termotivasi dan ingin buru-buru menuju apa yang kita impikan.
Kita lantas menjadi berapi-api dan bersiap-siap menjejaki hari-hari ke depan. Pokoknya, saat itu semangat membara sudah mulai berkobar.
Namun, entah mengapa, tanpa kita sadari atau tanpa kita sengaja, tiba-tiba saja nih, motivasi itu padam secara perlahan—dan itu menjadi masalah buat kita. Mengapa hal itu bisa terjadi, ya?
Tidak semua orang mampu membungkus motivasinya sehingga terlindungi.
Kehilangan motivasi atau matinya motivasi itu adalah masalah yang mungkin hampir pernah dialami setiap orang, termasuk kita.
Terbunuhnya motivasi pada diri kita menyebabkan ketidaksukaan terhadap sumber-sumber inspirasi dari manapun.
Terkadang, karena sudah tidak termotivasi lagi, kita bahkan tersugesti mengucapkan kalimat-kalimat negatif kepada sumber motivasi tersebut.
“Kebanyakkan bicara”
“Bisanya cuma ngomong, doang”
“Tidak semudah yang Lo katakan, Bray”
“Ah, nggak mungkin”
Nah, untuk mengetahui mengapa keluar kalimat-kalimat tersebut, ada pentingnya kita mendeteksi apa yang menjadi kebiasaan-kebiasaan negatif yang menyebabkan motivasi kita itu mati terbunuh.
Mari kita selidiki kemungkinan-kemungkinannya!
Pertama, kita berupaya langsung melompat ke titik hasil tanpa ingin bersusah payah dalam menjalani prosesnya
Hello...! Bagaimana bisa kita berpikir melompat dari anak tangga pertama menuju atas tanpa menginjakkan kaki ke anak tangga ke dua, ke tiga, ke empat, hingga ke anak tangga sebelum sampai ke tangga terakhir? Itu sangat mustahil, bukan?
Alih-alih menguatkan mental untuk bisa melewati tangga-tangga tersebut, kita malah sibuk mencari jalan pintas langsung ke atas.
Itu artinya sama saja kita berpikir bahwa proses itu sesuatu yang tidak penting—dan justru itu akan membuat kita frustasi dan depresi sendiri.
Begini, kalau kita mau berpikir, sebenarnya setiap langkah-langkah yang kita jejaki itu merupakan usaha kita menyelesaikan permasalahan satu per satu.
Kita butuh proses menapak setapak demi setapak. Proses jalan menuju puncak tetap harus kita nikmati, walaupun berupa kerikil yang sakit bila terinjak. Jangan pernah untuk berhenti berusaha.
Coba kita lihat usaha dari seorang juara lari jarak pendek olimpiade. Dia membutuhkan waktu hitungan detik, bahkan kurang dari sepuluh detik, hanya untuk mendapatkan rekor juara.
Dari hitungan detik yang dia torehkan, ada usaha keras yang jauh sebelumnya sudah dia lakukan.
Dia melatih diri setiap hari dan itu dilakukannya berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Jadi kesimpulannya, kita jangan pernah mengabaikan proses. Lakukan saja dengan sungguh-sungguh. Perkara hasilnya sesuai atau tidak, proses itu tetap ada nilai manfaatnya, percayalah.
Kedua, kita terbiasa untuk selalu ingin menjadi sempurna
Bisakah kita merancang awal sesuatu itu sempurna? Ya, jelas tidak bisalah.
Maksudnya, tidak ada sesuatu di awal yang sempurna. Seharusnya, kita tidak perlu terpaku dengan kesempurnaan. Yang kita lakukan adalah perbaiki saja kesalahannya pada saat gagal.
Jika sejak langkah awal ingin semuanya menjadi sempurna, kita tidak akan pernah siap.
Ketika persiapan itu sendiri tidak sempurna, kita menolak dan berdalih, ”Untuk apa saya lakukan ini jika tidak sempurna.”
Akhirnya, kita menunda melakukannya lagi—dan itu sikap yang buruk sekali. Jelas, ya?
Ketiga, kita selalu membandingkan diri sendiri dengan orang lain
Tidakkah kita tahu bahwa membandingkan diri dengan orang lain itu sungguh hal yang tidak tepat. Mengapa?
Sebab belum tentu kita dan orang lain tersebut memulainya dari titik yang sama. Andai pun, kita dan orang lain tersebut memulainya dari titik yang sama, hasilnya belum tentu sama. Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Yup, konsentrasilah pada goals atau tujuan kita. Bandingkanlah semuanya terhadap diri kita sendiri. Perubahan apa yang sudah kita lalui. Itu justru lebih tepat.
Melihat keberhasilan orang lain dan membandingkannya dengan pencapaian kita tentu sangat riskan menjadi pemicu kehilangan arah. Rencana-rencana kita menjadi berantakan. Apa yang terjadi? Kita menjadi emosi sendiri dan pada saat emosi membuat kita menyalahkan diri sendiri.
Maka itulah, hati-hati dengan subyektivitas perbandingan ini. Salah-salah, kita yang tidak berhasil.
Cara baiknya, jadikan melihat orang lain itu sebagai motivasi. Mari kita mulai segalanya dengan “Bismillah” — mereka bisa, kita pun bisa.
Keempat, kita selalu mudah tergoda dan gampang menunda-nunda pekerjaan
Ketika kita sedang asyik melakukan sesuatu dan berharap bisa fokus, distraksi sering kali muncul. Apalagi jika distraksi itu merupakan hal-hal yang menyenangkan. Misalnya, saat kita mencoba benar-benar fokus, tiba-tiba notifikasi ponsel berbunyi.
Secara refleks, perhatian kita pun jadi teralih ke ponsel. Lalu, mulailah kita membaca berita-berita di media sosial dan sebagainya.
Tanpa sadar nih ya, kegiatan tersebut memakan waktu satu sampai dua jam. Padahal, dengan waktu satu jam itu saja sebenarnya kita bisa mengerjakan semua rencana tadi.
Misalnya lagi, ketika kita sudah mulai bersiap melakukan sesuatu, tiba-tiba teman menelepon dan mengajak pergi. Kita pun setuju. Akhirnya lagi, kita tinggalkan kewajiban tadi. Terus begitu dan begitu terus.
Bayangkan, jika setiap hari kita terganggu dengan hal-hal tersebut, bisa-bisa sebulan hingga dua atau tiga bulan, kita akan kehilangan motivasi untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Untuk itulah memang harus ada yang kita korbankan.
Jika selama ini terlalu asyik dengan kegiatan bermedia sosial, nonton, jalan-jalan, makan-makan, dan lain-lain. Maka, mulailah kita fokus mengerjakan rancangan impian kita.
Sudah saatnya kita mengurangi, jika tidak ingin menghentikannya secara ekstrim—semua hal-hal pengganggu tersebut.
Kelima, kita tidak mempunyai rencana kecil
Ingat, kehidupan tanpa rencana sama artinya dengan menangkap angin mengejar bayangan. Capek dan sia-sia.
Bagaimana kita bisa sampai ke tujuan jika kita sendiri tidak tahu apa rencana kita. Sebuah rencana besar itu dihasilkan dari rencana-rencana kecil. Besok mau melakukan apa, lusa, akhir pekan, dan seterusnya.
Percayalah, jika tidak merencanakan hal kecil, kita akan mudah kehilangan fokus pekerjaan dan akhirnya menundanya lagi.
Sebuah masalah besar itu ada karena masalah kecil yang tidak terselesaikan. Tetapkanlah rencana jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Memang tidak semua rencana kita itu berjalan lancar dan mulus, tetapi setidaknya kita sudah melangkah satu tapak berarti.
Keenam, (Ini tak kalah penting), kita mengabaikan kesehatan tubuh
Sakit itu sudah pasti tidak enak karena kita tidak bisa melakukan apa-apa. Untuk itulah, jangan abaikan hak tubuh.
Tubuh juga butuh istirahat, makan, olah raga, juga—ini sangat utama—ibadah. Hal-hal itulah yang berperan penting menjadikan pikiran kita segar dan bahagia.
Dengan demikian, konsentrasi melakukan pekerjaan kita menjadi lebih optimal.
Begitulah, motivasi itu diibaratkan bahan bakar. Untuk sukses tidak ada mantra kilat “sim salabim”—sukses.
Kita tetap harus menjalankan prosesnya dan untuk sukses kita pun harus berani selalu termotivasi.
Ketika kita kehilangan motivasi, di titik itulah kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang kita inginkan.
Okay, selamat berjuang dan semangat!
-@Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan-
*sumber inspirasi dari Bpk. Abdi Suardin