Yup, konsentrasilah pada goals atau tujuan kita. Bandingkanlah semuanya terhadap diri kita sendiri. Perubahan apa yang sudah kita lalui. Itu justru lebih tepat.
Melihat keberhasilan orang lain dan membandingkannya dengan pencapaian kita tentu sangat riskan menjadi pemicu kehilangan arah. Rencana-rencana kita menjadi berantakan. Apa yang terjadi? Kita menjadi emosi sendiri dan pada saat emosi membuat kita menyalahkan diri sendiri.
Maka itulah, hati-hati dengan subyektivitas perbandingan ini. Salah-salah, kita yang tidak berhasil.
Cara baiknya, jadikan melihat orang lain itu sebagai motivasi. Mari kita mulai segalanya dengan “Bismillah” — mereka bisa, kita pun bisa.
Keempat, kita selalu mudah tergoda dan gampang menunda-nunda pekerjaan
Ketika kita sedang asyik melakukan sesuatu dan berharap bisa fokus, distraksi sering kali muncul. Apalagi jika distraksi itu merupakan hal-hal yang menyenangkan. Misalnya, saat kita mencoba benar-benar fokus, tiba-tiba notifikasi ponsel berbunyi.
Secara refleks, perhatian kita pun jadi teralih ke ponsel. Lalu, mulailah kita membaca berita-berita di media sosial dan sebagainya.
Tanpa sadar nih ya, kegiatan tersebut memakan waktu satu sampai dua jam. Padahal, dengan waktu satu jam itu saja sebenarnya kita bisa mengerjakan semua rencana tadi.
Misalnya lagi, ketika kita sudah mulai bersiap melakukan sesuatu, tiba-tiba teman menelepon dan mengajak pergi. Kita pun setuju. Akhirnya lagi, kita tinggalkan kewajiban tadi. Terus begitu dan begitu terus.
Bayangkan, jika setiap hari kita terganggu dengan hal-hal tersebut, bisa-bisa sebulan hingga dua atau tiga bulan, kita akan kehilangan motivasi untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Untuk itulah memang harus ada yang kita korbankan.
Jika selama ini terlalu asyik dengan kegiatan bermedia sosial, nonton, jalan-jalan, makan-makan, dan lain-lain. Maka, mulailah kita fokus mengerjakan rancangan impian kita.