B. Dinamika dan Antar Konsep
Dinamika dan interaksi antar konsep dalam penanganan banjir di Samarinda memperlihatkan bagaimana berbagai elemen, mulai dari kebijakan pemerintah, tata ruang kota, perilaku masyarakat, hingga kondisi lingkungan alam saling terhubung dan saling memengaruhi dalam menciptakan realitas sosial yang kompleks. Banjir di Samarinda bukan hanya persoalan curah hujan tinggi atau sistem drainase yang tidak memadai, tetapi juga merupakan hasil dari interaksi panjang antara faktor ekologis, ekonomi, sosial, dan politik. Ketika satu aspek mengalami perubahan, maka aspek lain pun ikut terpengaruh.Â
Misalnya, meningkatnya pembangunan permukiman di daerah resapan air tanpa memperhatikan tata ruang menyebabkan berkurangnya daya serap tanah terhadap air hujan. Hal ini tidak hanya memperparah risiko banjir, tetapi juga menimbulkan tekanan baru terhadap kebijakan publik dan perencanaan pembangunan kota. Di sinilah terlihat dinamika antar konsep seperti pembangunan berkelanjutan, tata kelola pemerintahan (governance), dan pengelolaan lingkungan. Ketiga konsep tersebut tidak bisa dipisahkan karena keberhasilan penanganan banjir bergantung pada sejauh mana kebijakan pembangunan mampu memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan keterlibatan masyarakat.
Interaksi antar konsep juga tampak jelas dalam hubungan antara governance dan partisipasi masyarakat. Pemerintah Kota Samarinda, misalnya, berupaya menerapkan kebijakan pengendalian banjir melalui pembangunan infrastruktur drainase, waduk penampungan, serta revitalisasi sungai. Namun, efektivitas kebijakan tersebut tidak hanya bergantung pada alokasi anggaran atau kapasitas teknis pemerintah, melainkan juga pada sejauh mana masyarakat berpartisipasi aktif dalam menjaga kebersihan lingkungan dan mematuhi aturan tata ruang. Ketika warga masih membuang sampah ke sungai atau mendirikan bangunan di bantaran, maka kebijakan terbaik sekalipun akan sulit berhasil.Â
Oleh karena itu, partisipasi masyarakat menjadi faktor penentu dalam keberlanjutan kebijakan lingkungan. Konsep governance yang baik menuntut adanya kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Interaksi inilah yang menciptakan dinamika sosial ketika masyarakat mulai terlibat, muncul rasa memiliki terhadap kebijakan, dan hal ini meningkatkan efektivitas program penanganan banjir. Sebaliknya, ketika masyarakat bersikap pasif dan hanya menunggu tindakan dari pemerintah, maka penanganan banjir akan menjadi reaktif, bukan preventif.
C. Rekomendasi Strategis
Berdasarkan analisis kritis menggunakan lima konsep manajemen jejaring, beberapa rekomendasi strategis dapat dirumuskan untuk meningkatkan efektivitas kolaborasi dalam penanganan banjir di Samarinda:
Perlu dilakukan reformasi terhadap struktur tata kelola jejaring dengan membentuk "Jejaring Pengelolaan Banjir Samarinda" sebagai badan koordinasi formal yang melibatkan perwakilan dari semua pemangku kepentingan yang relevan, yaitu Dinas PUPR, BPBD, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Penataan Ruang, Kecamatan, perwakilan masyarakat, akademisi, dan sektor swasta. Badan ini berfungsi sebagai wadah untuk perencanaan bersama, penggabungan sumber daya, berbagi informasi, dan penyelesaian konflik yang mungkin muncul dalam proses kolaborasi.Membangun Trust melalui Transparansi dan Engagement
Membangun kepercayaan melalui transparansi dan keterlibatan aktif dengan menerapkan sistem keterbukaan informasi publik dimana kemajuan program, penggunaan anggaran, dan hasil dari program pengendalian banjir dapat diakses secara mudah oleh masyarakat. Perlu dilaksanakan forum multi-pemangku kepentingan secara berkala dimana berbagai aktor dapat berdialog, berbagi keprihatinan, dan berkolaborasi dalam pemecahan masalah. Hubungan timbal balik dengan masyarakat harus dikembangkan melalui inisiatif pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat dimana masyarakat tidak hanya sebagai penerima manfaat tetapi juga sebagai mitra dalam menciptakan solusi.
Mengatasi ketimpangan kekuasaan melalui proses inklusif dengan mengadopsi pendekatan partisipatif dalam perencanaan dan pengambilan keputusan seperti pemetaan partisipatif untuk mengidentifikasi area rawan banjir berdasarkan pengetahuan lokal, penganggaran partisipatif untuk memprioritaskan intervensi pengelolaan banjir, dan pemantauan yang dipimpin masyarakat untuk mengevaluasi efektivitas program. Perlu dibentuk mekanisme formal untuk memastikan bahwa suara dari kelompok marginal dan rentan didengar dan diintegrasikan dalam kebijakan dan program.
Memperkuat akuntabilitas jejaring dengan mengembangkan kerangka akuntabilitas yang jelas yang merinci peran, tanggung jawab, dan indikator kinerja untuk masing-masing aktor dalam jejaring. Perlu diterapkan mekanisme akuntabilitas multi-dimensi yang meliputi akuntabilitas vertikal melalui pelaporan hierarkis, akuntabilitas horizontal melalui tinjauan sejawat dan pemantauan bersama antar lembaga, dan akuntabilitas sosial melalui kartu laporan warga dan dengar pendapat publik. Sanksi dan insentif harus dikaitkan dengan kinerja kolaboratif, bukan hanya kinerja organisasi individual.