Mohon tunggu...
Shorea Hayati Istiqomah
Shorea Hayati Istiqomah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi saya mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisis kritis kolaborasi dalam pelayanan publik: studi kasus penanganan banjir di samarinda

11 Oktober 2025   12:25 Diperbarui: 11 Oktober 2025   12:25 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, ini problematic dalam konteks collaborative governance karena tidak mencerminkan shared responsibility dari semua aktor dalam jejaring. Dinas PUPR mungkin bertanggung jawab atas kualitas konstruksi infrastruktur, tetapi efektivitas infrastruktur tersebut juga bergantung pada land use planning (yang merupakan domain Dinas Penataan Ruang), enforcement terhadap building regulations, dan community behavior dalam waste management.

Yang lebih concerning adalah absence of horizontal accountability antar aktor dalam jejaring. Tidak ada mekanisme formal dimana Dinas PUPR dapat meminta pertanggungjawaban dari Dinas lain yang policies-nya mempengaruhi efektivitas program pengendalian banjir, seperti Dinas Lingkungan Hidup terkait pengelolaan sampah yang sering menyumbat drainase, atau Dinas Perhubungan terkait drainage maintenance di jalan-jalan utama.

Social accountability, dimana masyarakat dapat meminta pertanggungjawaban langsung dari pemerintah, juga masih lemah. Tidak ada platform formal dimana masyarakat dapat menyampaikan keluhan, memberikan feedback, atau meminta explanation tentang progress dan efektivitas program pengendalian banjir. Transparency dalam reporting juga terbatas, sehingga masyarakat sulit untuk mengassess apakah program berjalan sesuai rencana dan memberikan hasil yang optimal.

Untuk memperkuat network accountability, diperlukan multiple accountability mechanisms yang complementary: vertical accountability melalui supervisory bodies, horizontal accountability melalui inter-agency coordination forums, dan social accountability melalui public disclosure, citizen feedback mechanisms, dan participatory monitoring and evaluation.

e. Konsep 5: Collaborative Capacity - Kapasitas untuk Berkolaborasi

Collaborative capacity merujuk pada kemampuan organisasi dan individu dalam jejaring untuk bekerja sama secara efektif. Ini mencakup technical skills, interpersonal skills, organizational resources, dan institutional arrangements yang mendukung kolaborasi.

Analisis terhadap penanganan banjir Samarinda menunjukkan bahwa collaborative capacity masih menjadi challenge signifikan. Meskipun terdapat recognition tentang pentingnya "sinergitas" dalam penanganan banjir, capacity untuk mewujudkan sinergitas tersebut masih terbatas. Ini terlihat dari beberapa indikator:

Keterbatasan technical capacity dalam integrated flood management. Program pengendalian banjir masih didominasi oleh pendekatan structural engineering seperti pembangunan drainase, kolam retensi, dan tanggul, sementara non-structural measures seperti early warning systems, land use regulation, dan community-based adaptation masih underdeveloped. Ini mengindikasikan bahwa Dinas PUPR, sebagai lead agency, belum sepenuhnya memiliki capacity untuk mengintegrasikan berbagai dimensi pengelolaan banjir yang requires expertise dari berbagai disiplin dan institusi.

Organizational resources yang terbatas menghambat collaborative initiatives. Kepala Bidang SDA PUPR menyebutkan bahwa beberapa proyek harus dilanjutkan ke tahun berikutnya karena belum selesai, mengindikasikan keterbatasan dalam project management capacity dan resource allocation. Keterbatasan ini membuat institusi lebih fokus pada "surviving" daripada "thriving," sehingga investasi dalam collaborative processes seperti stakeholder engagement, joint planning, atau knowledge sharing menjadi secondary priority.

Institutional arrangements untuk kolaborasi masih weak. Tidak ada evidence tentang formal coordination body, joint task force, atau integrated command structure untuk penanganan banjir. Koordinasi tampaknya terjadi secara ad hoc dan personal-based daripada institutional-based. Ketika Wali Kota secara langsung meninjau lokasi banjir, ini menunjukkan leadership yang kuat tetapi juga mengindikasikan absence of institutionalized coordination mechanisms yang dapat berfungsi secara routine tanpa perlu intervention langsung dari top leadership.

Collaborative skills di level individu, seperti communication skills, conflict resolution skills, dan cross-boundary thinking, masih perlu dikembangkan. Culture of collaboration belum tertanam kuat dalam organizational culture birokrasi, dimana masing-masing institusi masih cenderung protective terhadap turf-nya dan reluctant untuk share information atau resources dengan institusi lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun