Reciprocity dalam jejaring penanganan banjir juga masih terbatas. Masyarakat cenderung berposisi sebagai penerima manfaat pasif daripada partner aktif dalam kolaborasi. BPBD Kota Samarinda mengeluarkan rekomendasi kepada masyarakat untuk menghadapi banjir, seperti "hindari bepergian ke daerah yang sudah terendam air" dan "amankan barang-barang penting," namun ini masih bersifat top-down instruction daripada collaborative engagement. Tidak ada mekanisme formal dimana masyarakat dapat berkontribusi dalam perencanaan dan evaluasi program pengendalian banjir.
Trust juga diuji melalui konsistensi dan accountability dalam implementasi program. Kepala Bidang SDA Dinas PUPR menyatakan bahwa "untuk tahun anggaran 2023 kegiatan pengendalian banjir tetap menjadi prioritas" dengan melanjutkan proyek yang belum selesai di tahun sebelumnya. Konsistensi ini penting untuk membangun trust, namun efektivitasnya bergantung pada transparansi dalam progress reporting dan involvement stakeholder lain dalam monitoring.
Untuk memperkuat trust and reciprocity, diperlukan mekanisme formal untuk multi-stakeholder engagement seperti forum koordinasi penanganan banjir yang melibatkan tidak hanya institusi pemerintah, tetapi juga organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta. Platform semacam ini dapat memfasilitasi dialog, sharing information, dan collaborative decision-making yang akan memperkuat mutual trust dalam jejaring.
c. Konsep 3: Power Asymmetry - Ketimpangan Kekuasaan dalam Jejaring
Power asymmetry atau ketimpangan kekuasaan merupakan realitas yang tidak dapat dihindari dalam network governance. Dalam penanganan banjir Samarinda, ketimpangan kekuasaan terlihat jelas antara aktor pemerintah dengan non-pemerintah, antara pemerintah pusat dengan daerah, dan bahkan antar unit pemerintah daerah itu sendiri.
Pemerintah Kota Samarinda, khususnya Dinas PUPR, memiliki power dominan dalam menentukan lokasi, timing, dan jenis intervensi teknis untuk pengendalian banjir. Keputusan tentang pembangunan drainase, kolam retensi, atau sodetan dibuat secara teknokratis oleh Dinas PUPR dengan minimnya input dari masyarakat yang terdampak langsung. Hal ini menciptakan potential disconnect antara solusi teknis yang ditawarkan dengan kebutuhan dan realitas lokal masyarakat.
Power asymmetry juga terlihat dalam relasi antara Pemkot Samarinda dengan Kementerian PUPR. Ketergantungan Pemkot pada dukungan anggaran dan technical assistance dari pusat menempatkan pemerintah daerah dalam posisi yang lebih lemah dalam negotiating power. Ini terlihat dari necessity bagi Wali Kota untuk melakukan pendekatan langsung ke Menteri untuk memperjuangkan kelanjutan proyek. Dalam struktur governance yang ideal, seharusnya terdapat mekanisme yang lebih terstruktur dan predictable untuk alokasi sumber daya tanpa perlu patron-client relationship.
Yang lebih problematis adalah power asymmetry antara pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat yang tinggal di area rawan banjir memiliki local knowledge yang sangat berharga tentang pola banjir, titik-titik kritis, dan solusi-solusi lokal yang mungkin efektif. Namun, knowledge ini jarang diintegrasikan dalam perencanaan formal pengendalian banjir. Masyarakat diperlakukan sebagai objek yang harus "dilindungi" dan diberi "rekomendasi," bukan sebagai subjek yang memiliki agency dan dapat berkontribusi dalam co-production of solutions.
Untuk mengatasi power asymmetry, diperlukan deliberate institutional design yang memberikan ruang bagi less powerful actors untuk berpartisipasi meaningfully dalam decision-making processes. Ini bisa berbentuk participatory budgeting untuk program pengendalian banjir, community-based disaster risk reduction initiatives, atau formal mechanisms untuk integrating local knowledge dalam technical planning.
d. Konsep 4: Network Accountability - Pertanggungjawaban dalam Kolaborasi
Network accountability merujuk pada mekanisme pertanggungjawaban dalam konteks governance yang melibatkan multiple actors dengan distributed authority. Struktur accountability dalam jejaring penanganan banjir Samarinda masih mengikuti pola hierarchical accountability dimana pertanggungjawaban mengalir ke atas melalui chain of command birokrasi.Â