Mohon tunggu...
Shirley
Shirley Mohon Tunggu... Berpengalaman sebagai Apoteker di sebuah rumah sakit

Saya menyukai alam, musik, dan sejarah dunia. "Bacaan yang baik menyehatkan pikiran sebagaimana olahraga yang tepat menyehatkan raga."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kehadiran Grafologi di Barak Militer, Akar Masalah, dan Secercah Harapan

31 Mei 2025   17:54 Diperbarui: 31 Mei 2025   20:56 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan karakter panca waluya di barak militer Jawa Barat angkatan pertama. (Sumber: IG gustiajudewi)

Pendidikan karakter telah selesai dijalani oleh 273 siswa dari berbagai daerah di Provinsi Jawa Barat (Jabar). Angkatan pertama yang mengikuti pendidikan karakter panca waluya atau yang selama ini dikenal dengan pendidikan di barak militer adalah siswa-siswi yang dianggap sulit ditangani secara kedisiplinan oleh orang tua maupun pihak sekolahnya.  Mereka dipilih dari berbagai sekolah dengan indikasi prioritas terlibat dalam pergaulan bebas dan berbagai tindakan kriminal. 

Kebijakan ini adalah langkah alternatif yang diputuskan oleh Gubernur Jabar Dedi Mulyadi setelah pihak orang tua dan pihak sekolah menyatakan tidak mampu menangani perilaku siswa-siswi tersebut. Dedi menegaskan pendekatan yang diambilnya ini bertujuan untuk membentuk ulang karakter sehingga mereka siap kembali ke sekolah dan masyarakat secara sehat dan bertanggung jawab. 

Program yang bekerja sama dengan TNI AD ini mulai dilaksanakan sejak 2 Mei 2025, bertepatan dengan hari Pendidikan Nasional, di dua tempat yaitu Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi di Bandung dan di Markas Resimen Artileri Medan (Menarmed) 1 Kostrad di Purwakarta. Program pembinaan ini bernama Pendidikan Karakter, Disiplin, dan Bela Negara Kekhususan. 

"Jadi bukanlah pendidikan militer atau pendidikan ala militer," jelas Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Wahyu Yudhayana, 2 Mei 2025, dikutip dari media Antara.  Tenaga pendidik program ini berasal dari unsur TNI AD, Polri, dinas pendidikan, dinas kesehatan, Lembaga Perlindungan Anak (LPA), dan tenaga pendidik di berbagai bidang masing-masing. 

Mengenali akar masalah anak

Selain pendidikan formal, fasilitas di barak juga menyediakan pendampingan mental dan spiritual. Disediakan guru bimbingan untuk konseling dan juga psikolog. Siswa-siswi diminta untuk menulis perasaan, menjawab kuesioner, hingga tes psikologi seperti menggambar. Selain itu, khusus untuk siswa beragama Islam, seorang ustaz rutin dihadirkan untuk memberikan ceramah dan kajian keagamaan untuk menanamkan nilai moral dan etika. 

Ternyata selama di barak militer, seorang grafolog dilibatkan dalam upaya untuk membentuk ulang karakter dari siswa-siswi bermasalah ini. Beliau adalah Gusti Aju Dewi. Gusti Aju adalah grafolog bersertifikasi global yang pernah menjadi salah satu pembicara internasional pada Konferensi Forensik & Grafologi di La Universidad Interamericana para ed Desarrollo, Meksiko, September 2024 silam. 

Dewi telah lulus uji sertifikasi kompetensi grafologi yang telah dilegalisasi melalui Apostille Konvensi Den Haag 1961 yang sah secara hukum di 92 negara. Legalitas kompetensi ini tidak bisa dikeluarkan oleh lembaga pelatihan biasa, tetapi harus melalui mekanisme resmi negara dan sesuai regulasi hukum internasional. 

Gusti Dewi Aju adalah lulusan S1 jurusan Hubungan Internasional (HI), Universitas Parahyangan, Bandung dan sedang dalam program Magister Informatika di School of Computer Science Universitas Nusa Putra. 

Pendiri institusi ISOG (Indonesian School of Graphologist) ini menjadi sorotan usai menyampaikan paparan analisisnya kepada Dedi Mulyadi mengenai anak-anak yang telah menyelesaikan Program Pendidikan Kebangsaan (PKK) di barak militer selama 18 hari. 

Tahun 2013, Gusti Aju Dewi mendirikan PT KTP (Karakter Transformasi Pertiwi). Melalui nama perusahaan yang disingkat KTP seperti kartu identitas penduduk ini, Dewi ingin agar manusia secara individu mampu mengenali identitas dirinya yang sebenarnya, bukan berdasarkan kata orang. 

Sebagai grafolog global, sarjana HI, dan mahasiswa S2 bidang AI (Artificial Intelligence), Dewi melihat pembinaan siswa di barak militer adalah langkah berani untuk menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia. 

"Di barak, disiplin dilatih. Lewat grafologi, karakter dikenali. Lewat AI, perubahan bisa dibuatkan alat bantu untuk mempercepat proses," tulisnya di halaman Instagram pribadinya. 

Setelah melihat dan ikut turun dalam program perdana inisiatif Gubernur Jabar ini, Dewi menilai barak dapat sebagai tempat untuk membangun karakter bangsa. 

Dalam analisis grafologi yang dilakukan oleh Dewi, yang pertama dicari adalah apa yang menjadi  trigger (pemicu) masalah anak-anak ini dan apa yang menjadi kebutuhan mereka.  

Menurutnya, karakter anak tidak cukup dibentuk dari teori, tetapi lewat pengalaman, intervensi tepat, dan pemahaman mendalam terhadap jiwa mereka. 

Menurut hasil analisa grafologi terhadap 273 tulisan anak-anak di barak militer ini, diketahui secara umum mereka mempunyai kondisi emosional yang 'babak belur', di mana mereka sulit mendapat penerimaan dan juga sulit mengekspresikan diri. 

Wawancara Gubernur Jabar Dedi Mulyadi dengan Grafolog Gusti Aju Dewi (Sumber: YouTube Kang Dedi Mulyadi Channel)
Wawancara Gubernur Jabar Dedi Mulyadi dengan Grafolog Gusti Aju Dewi (Sumber: YouTube Kang Dedi Mulyadi Channel)
Menjawab pertanyaan pihak-pihak yang mengatakan kalau program memasukkan anak-anak 'nakal' ke barak militer tidak memiliki dasar filosofi pendidikan, psikologi, dan tidak bermanfaat, Dewi tidak setuju dengan pandangan tersebut. 

Dedi Mulyadi dengan terus terang mengakui tidak melakukan kajian terlebih dahulu sehubungan dengan program ini karena Gubernur Jabar ini lebih mengedepankan tindakan solutif terlebih dahulu untuk suatu permasalahan dan kajian dapat dilakukan setelahnya.

 "Kesempurnaan terjadi setelah kita melakukan," jelas Dedi dalam wawancara eksklusifnya dengan Aju Dewi yang ditayangkan di kanal YouTubenya pada 29 Mei 2025. 

Dewi mengatakan kerja sama antara ilmu psikologi klinis dengan grafologi akan memberikan hasil yang lebih baik.

Terhadap anak-anak di barak, dilakukan asesmen awal oleh psikolog klinis bersama grafolog sebelum ditangani lebih lanjut. Hasilnya asesmen awal ini adalah 70 persen dari anak-anak tersebut tidak memiliki fondasi yang kokoh dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Profil sebagai 'manusia yang harmonis dengan dirinya sendiri' adalah hal yang paling menonjol dilihat tidak dimiliki anak-anak ini. Hal ini karena tidak adanya fondasi untuk hal ini dalam hidup mereka. 

Figur ayah dan ibu yang tidak ada

Dewi bersama psikolog klinis yang terlibat menangani anak-anak ini sama-sama sepakat kalau anak-anak ini belum mendapatkan figur ayah dan sekaligus ibu. Tidak adanya figur tidak hanya berbicara mengenai ada tidaknya sosok ayah dan ibu, tetapi apakah peran keduanya berjalan atau tidak. 

"Metode ini adalah inovasi karena merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Dan sesuatu yang baru akan menimbulkan efek kejut. Namun setelah melihat hasil asesmen, kami mempunyai kesimpulan yang sama. Di analisis awal, pada saat melihat hasil pre-test, kami sampai pada kesimpulan yang sama. Ada ketidakseimbangan kebutuhan figur ayah DAN figur ibu, DAN bukan ATAU, yang menunjukkan sisi kedisiplinan yang positif. Figur ayah memberikan rasa aman atau stabil, bahwa ada yang melindungi dan menjaga. Sedangkan figur ibu yang mencintai, menerima, memberi kasih. Dua figur ini yang kami temukan menjadi penyebab mereka mengalami harmonisasi dengan dirinya kurang. Karena figur itu absen," jelas Dewi. 

"Saya juga melihat dari interaksi anak-anak dari jauh, dengan TNI dan dengan kami. Kami yakin pendekatan militer dan pendekatan psikologis bisa hadir sebagai sosok ayah dan sosok ibu. Itu yang kami lihat. Dari mana? Pertama pada waktu break, saya melihat ada beberapa anak-anak berusaha dari gesturnya mencari perhatian kepada pelatih. Yang kedua pada waktu tes, ke saya, ke Bu Kasandra. Modusnya ke saya beberapa kali bertanya tidak mengerti disuruh ngerjain apa. Tapi sebetulnya pada saat bertanya itu kan saya bisa membedakan orang yang bertanya itu karena mencari perhatian atau orang yang betul-betul tidak paham. Nah mayoritas yang datang bertanya ke saya 'Bu ini bagaimana', padahal sudah benar. 'Oh sudah benar ya'. 'Oh iya berarti saya benar ya'. Terus ada ekspresi bahagia gitu... Anak-anak ini seperti kekurangan perhatian seorang ibu,"lanjut Dewi menjelaskan. 

"Proses pendidikan ini seperti mengisi kekeringan yang mereka alami, yaitu hilangnya figur ayah dan hilangnya figur ibu. Figur ayah sebagai simbol maskulinisme dan figur ibu sebagai simbol feminisme," kata Dedi Mulyadi menyimpulkan. "Figur ayah diwakili oleh kehadiran pelatih, guru yang adalah anggota TNI yang sebagai pelatih. Figur ibu diwakili oleh psikolog dan grafolog."

"Karena grafolog membantu untuk mengenali secara personal, anak per anak kan berbeda kebutuhannya," jawab Dewi. 

"Saya kan tidak mungkin menjadi ayah di rumahnya, saya tidak mungkin menjadi ibu di rumahnya. Karena itu sudah menjadi ranah privasi, tidak mungkin negara mengintervensi. Harusnya negara membuat tata ruang yang baik, tata pemukiman yang baik, sistem pendidikan yang tidak melahirkan depresi. Paling kita mengundang mereka [psikolog dan grafolog] dua minggu sekali, sehingga mereka juga dapat bertemu ayah dan ibu asuhnya," kata Dedi yang akan memfasilitasi pertemuan selanjutnya anak-anak ini di rumah dinasnya dengan ayah dan ibu asuh mereka. 

Dewi setuju metode pendidikan kebangsaan di barak militer bisa menjadi kartu kendali, namun menurutnya akan lebih baik bila hal sistemik yang lebih besar perlu diperbaiki.

"Analisis saya begini, orang kelaparan lebih baik diberi makanan, baru diajari cara mancing supaya dapat ikan di laut atau makan sendiri, daripada orang kelaparan diberikan pancing dan dipaksa belajar mancing.  Yang saya lihat di program Bapak, peran terbesar adalah di orang tua. Karena setiap kali kita mengatakan anak itu titipan Tuhan kepada orang tua, bukan kepada negara, bukan kepada guru sekolah. Tapi dalam kondisi semua orang tua ini pusing, masakan diceramahin cara mancing. Menurut saya lebih efektif sekarang dibantu dulu, diselesaikan masalahnya. Dikasih makan dulu. Setelah itu baru disuruh mencangkul. Dibantu disadarkan. Kalau tidak mau hal ini terulang, apa yang bisa dilakukan. Karena beberapa orang tua setelah upacara pelantikan bertanya apakah anak saya akan kembali seperti sebelumnya,"ujar Dewi. 

Dewi kemudian menjawab pertanyaan beberapa orang tua itu dengan memberikan analogi orang yang membeli ikan hias dari penjual, di mana lingkungan tinggal ikan tersebut sudah diatur suhu, air, pencahayaan, dan lain sebagainya. Ikan yang kemudian dibeli, di bawa pulang ke rumah, di taruh di gelas, dan airnya tidak pernah diganti oleh pembelinya. Tidak dirawat lagi seperti tempat ikan itu dibeli. Maka kondisi ikan akan menjadi seperti apa sepenuhnya bergantung pada perlakuan pembelinya. 

Dewi mengatakan respon mereka yang mendengarkan jawabannya itu adalah kaget, namun tidak menolak. 

"Asumsi saya, mungkin belum ada yang mengkomunikasikan hal ini, atau entah ya saya tidak mau berasumsi. Tapi menurut saya langkah ini lebih tepat daripada orang kelaparan masih dipanggil harus belajar mancing," ujar Dewi. 

"Lebih baik [pendidikan di barak militer] daripada cuman dikomentarin 'ada tawuran ... ada tawuran ... anak-anak minum ...'. Karena guru BK maupun guru wali kelas yang menanganinya saja tidak dapat menyelesaikan problem. Orang tuanya tidak bisa menyelesaikan problem. Namanya kita mencari formula," timpal Dedi. 

Proses skrining awal oleh psikolog klinis dan grafolog bersertifikasi global di barak militer angkatan pertama (Sumber: IG gustiajudewi)
Proses skrining awal oleh psikolog klinis dan grafolog bersertifikasi global di barak militer angkatan pertama (Sumber: IG gustiajudewi)
Kolaborasi Dewi sebagai grafolog profesional dalam pembinaan ini berawal dari dorongan Kasandra Putranto, seorang Psikolog Klinis Forensik senior. Kasandra menaruh perhatian akan anak-anak peserta pendidikan karakter Panca Waluya ini dan ia kemudian secara sukarela mendukung gagasan pendidikan oleh Gubernur Jabar Dedi Mulyadi, yaitu mendidik dengan pendekatan ilmu militer dan ilmu psikologi.

Grafologi sebagai alat

Manusia adalah mahkluk yang kompleks dan seringkali membingungkan. Bahkan seseorang sulit memahami kebiasaan dan motivasi dirinya, apalagi orang di luar dirinya. Oleh sebab itu, manusia mencari berbagai petunjuk apa pun, termasuk melalui tulisan tangan. Itulah sebabnya muncul ilmu grafologi. 

"Seperti bahasa tubuh, tulisan tangan dianalisa dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang lebih dalam akan kebiasaan, motivasi, dan kepribadian seseseorang," kata Annette Poizner, seorang grafolog bersertifikasi, pekerja sosial, dan psikoterapis bersertifikasi, dikutip dari Reader's Digest online edisi Agustus 2024. 

Memang terdapat argumentasi tentang grafologi adalah pseudosains dan tidak seharusnya dipertimbangkan sebagai praktek yang sah dikarenakan secara teknis, kehandalan, dan validitasnya dinilai kurang dari sisi prosedur yang dianggap ilmiah. 

Pendapat ini tidak disangkal oleh Poizner. Namun ia berpendapat,"Grafologi dipertimbangkan sebagai 'teknik proyektif' untuk mempelajari lebih lanjut mengenai kepribadian seseorang dalam konteks psikoterapi yang berorientasi pada wawasan dan eksplorasi diri." 

Dalam konteks psikoterapi ini, grafologi dapat menjadi alat dalam proses terapi seseorang, di mana sebagai alat untuk memberikan wawasan dan mendukung eksplorasi diri seseorang. 

Oleh sebab itu, adalah lebih baik bila seorang grafolog juga memiliki pelatihan dalam ilmu kesehatan mental sehingga juga mempunyai kredensial untuk mengenali kesehatan mental seseorang.

Melalui analisa tulisan tangan dapat diperoleh wawasan akan keadaan mental seseorang, di mana hal ini akan membantu terapis atau konselor melakukan penanganan. 

Berdasarkan laporan hasil analisis kepribadian, seorang grafoterapis juga dapat merancang terapi khusus untuk mengubah goresan tulisan tangan tertentu yang penting untuk memperbaiki kepribadian seseorang. 

Tentu tidak ada yang menyangka kalau pembinaan karakter anak-anak di barak militer ini melibatkan para ahli yang mampu bekerja sama dan satu hati untuk menyelamatkan anak-anak generasi penerus Indonesia yang sering kali sudah dicap tidak mempunyai harapan lagi oleh berbagai pihak. Hal ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya kasih dan pengorbanan dari berbagai pihak yang terkait dan mau bekerja sama. 

Inisiatif mendidik anak dalam jangka waktu pendek di barak militer dengan pendekatan kedisiplinan militer dan sentuhan psikologi adalah bukti perhatian dan kehadiran negara bagi salah satu permasalahan sosial masyarakat yaitu kenakalan remaja. 

Langkah inovatif ini sudah selayaknya mendapat apresiasi oleh bangsa kita sendiri dan tidak mustahil akan menjadi salah satu metode yang akan disorot dan turut diamati serta dipelajari oleh dunia internasional. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun