Mohon tunggu...
Shirley
Shirley Mohon Tunggu... Berpengalaman sebagai Apoteker di sebuah rumah sakit

Saya menyukai alam, musik, dan sejarah dunia. "Bacaan yang baik menyehatkan pikiran sebagaimana olahraga yang tepat menyehatkan raga."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kehadiran Grafologi di Barak Militer, Akar Masalah, dan Secercah Harapan

31 Mei 2025   17:54 Diperbarui: 31 Mei 2025   20:56 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wawancara Gubernur Jabar Dedi Mulyadi dengan Grafolog Gusti Aju Dewi (Sumber: YouTube Kang Dedi Mulyadi Channel)

Figur ayah dan ibu yang tidak ada

Dewi bersama psikolog klinis yang terlibat menangani anak-anak ini sama-sama sepakat kalau anak-anak ini belum mendapatkan figur ayah dan sekaligus ibu. Tidak adanya figur tidak hanya berbicara mengenai ada tidaknya sosok ayah dan ibu, tetapi apakah peran keduanya berjalan atau tidak. 

"Metode ini adalah inovasi karena merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Dan sesuatu yang baru akan menimbulkan efek kejut. Namun setelah melihat hasil asesmen, kami mempunyai kesimpulan yang sama. Di analisis awal, pada saat melihat hasil pre-test, kami sampai pada kesimpulan yang sama. Ada ketidakseimbangan kebutuhan figur ayah DAN figur ibu, DAN bukan ATAU, yang menunjukkan sisi kedisiplinan yang positif. Figur ayah memberikan rasa aman atau stabil, bahwa ada yang melindungi dan menjaga. Sedangkan figur ibu yang mencintai, menerima, memberi kasih. Dua figur ini yang kami temukan menjadi penyebab mereka mengalami harmonisasi dengan dirinya kurang. Karena figur itu absen," jelas Dewi. 

"Saya juga melihat dari interaksi anak-anak dari jauh, dengan TNI dan dengan kami. Kami yakin pendekatan militer dan pendekatan psikologis bisa hadir sebagai sosok ayah dan sosok ibu. Itu yang kami lihat. Dari mana? Pertama pada waktu break, saya melihat ada beberapa anak-anak berusaha dari gesturnya mencari perhatian kepada pelatih. Yang kedua pada waktu tes, ke saya, ke Bu Kasandra. Modusnya ke saya beberapa kali bertanya tidak mengerti disuruh ngerjain apa. Tapi sebetulnya pada saat bertanya itu kan saya bisa membedakan orang yang bertanya itu karena mencari perhatian atau orang yang betul-betul tidak paham. Nah mayoritas yang datang bertanya ke saya 'Bu ini bagaimana', padahal sudah benar. 'Oh sudah benar ya'. 'Oh iya berarti saya benar ya'. Terus ada ekspresi bahagia gitu... Anak-anak ini seperti kekurangan perhatian seorang ibu,"lanjut Dewi menjelaskan. 

"Proses pendidikan ini seperti mengisi kekeringan yang mereka alami, yaitu hilangnya figur ayah dan hilangnya figur ibu. Figur ayah sebagai simbol maskulinisme dan figur ibu sebagai simbol feminisme," kata Dedi Mulyadi menyimpulkan. "Figur ayah diwakili oleh kehadiran pelatih, guru yang adalah anggota TNI yang sebagai pelatih. Figur ibu diwakili oleh psikolog dan grafolog."

"Karena grafolog membantu untuk mengenali secara personal, anak per anak kan berbeda kebutuhannya," jawab Dewi. 

"Saya kan tidak mungkin menjadi ayah di rumahnya, saya tidak mungkin menjadi ibu di rumahnya. Karena itu sudah menjadi ranah privasi, tidak mungkin negara mengintervensi. Harusnya negara membuat tata ruang yang baik, tata pemukiman yang baik, sistem pendidikan yang tidak melahirkan depresi. Paling kita mengundang mereka [psikolog dan grafolog] dua minggu sekali, sehingga mereka juga dapat bertemu ayah dan ibu asuhnya," kata Dedi yang akan memfasilitasi pertemuan selanjutnya anak-anak ini di rumah dinasnya dengan ayah dan ibu asuh mereka. 

Dewi setuju metode pendidikan kebangsaan di barak militer bisa menjadi kartu kendali, namun menurutnya akan lebih baik bila hal sistemik yang lebih besar perlu diperbaiki.

"Analisis saya begini, orang kelaparan lebih baik diberi makanan, baru diajari cara mancing supaya dapat ikan di laut atau makan sendiri, daripada orang kelaparan diberikan pancing dan dipaksa belajar mancing.  Yang saya lihat di program Bapak, peran terbesar adalah di orang tua. Karena setiap kali kita mengatakan anak itu titipan Tuhan kepada orang tua, bukan kepada negara, bukan kepada guru sekolah. Tapi dalam kondisi semua orang tua ini pusing, masakan diceramahin cara mancing. Menurut saya lebih efektif sekarang dibantu dulu, diselesaikan masalahnya. Dikasih makan dulu. Setelah itu baru disuruh mencangkul. Dibantu disadarkan. Kalau tidak mau hal ini terulang, apa yang bisa dilakukan. Karena beberapa orang tua setelah upacara pelantikan bertanya apakah anak saya akan kembali seperti sebelumnya,"ujar Dewi. 

Dewi kemudian menjawab pertanyaan beberapa orang tua itu dengan memberikan analogi orang yang membeli ikan hias dari penjual, di mana lingkungan tinggal ikan tersebut sudah diatur suhu, air, pencahayaan, dan lain sebagainya. Ikan yang kemudian dibeli, di bawa pulang ke rumah, di taruh di gelas, dan airnya tidak pernah diganti oleh pembelinya. Tidak dirawat lagi seperti tempat ikan itu dibeli. Maka kondisi ikan akan menjadi seperti apa sepenuhnya bergantung pada perlakuan pembelinya. 

Dewi mengatakan respon mereka yang mendengarkan jawabannya itu adalah kaget, namun tidak menolak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun