Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi generasi muda. Aktivitas scrolling atau menggulir layar tanpa henti sering kali membuat pengguna lupa waktu dan kehilangan kontrol atas penggunaannya. Mulai dari bangun tidur hingga sebelum tidur kembali, tak sedikit dari kita yang secara refleks membuka Instagram, TikTok, X, atau YouTube hanya untuk sekadar "cek-cek info", padahal sering kali berakhir dengan scrolling tak berujung.
Meskipun awalnya tampak seperti aktivitas ringan dan menyenangkan, kenyataannya banyak orang tanpa sadar telah mengalami ketergantungan terhadap media sosial. Ketergantungan ini berpotensi mengganggu kesehatan mental dan menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mewaspadai dampak negatif penggunaan media sosial yang berlebihan dan mulai mencari strategi agar penggunaannya tetap sehat dan produktif.
Ketergantungan terhadap media sosial menjadi isu yang semakin mendapat perhatian dari para ahli kesehatan mental. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Airlangga (UNAIR) mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan, lebih dari lima jam per-hari dapat diklasifikasikan sebagai problematik. Kondisi ini berisiko menimbulkan gangguan mental seperti depresi, kecemasan, hingga obsessive compulsive disorder (OCD).
Gejala kecanduan media sosial meliputi obsesi untuk terus mengakses platform, mengabaikan aktivitas di dunia nyata, dan kehilangan kontrol atas waktu penggunaan. Hal ini diperparah oleh algoritma media sosial yang sengaja dirancang untuk membuat pengguna terus bertahan, menonton lebih banyak konten, bahkan ketika sudah merasa lelah atau bosan. Selain berdampak secara psikologis, penggunaan media sosial yang intensif juga dapat memengaruhi kesehatan fisik, seperti terganggunya kualitas tidur, kelelahan mata, hingga masalah postur tubuh akibat terlalu lama menatap layar.
Salah satu dampak psikologis lain yang sering muncul adalah fenomena fear of missing out (FoMO), yaitu rasa cemas dan takut ketinggalan informasi yang sedang viral. FoMO mendorong pengguna untuk terus-menerus memeriksa ponsel dan media sosial, memperparah kecanduan serta meningkatkan stres. Studi juga menunjukkan bahwa kecanduan media sosial dapat menurunkan kualitas interaksi sosial langsung, melemahkan keterampilan komunikasi interpersonal, dan memengaruhi prestasi akademik karena terganggunya fokus belajar.
Banyak siswa dan mahasiswa tergoda untuk membuka media sosial di tengah waktu belajar, bahkan saat pelajaran daring berlangsung. Akibatnya, konsentrasi terganggu dan prestasi akademik menurun. Belum lagi kebiasaan scrolling hingga larut malam yang berdampak pada kualitas tidur. Ini menjadi alarm serius bagi pelajar yang sedang berada dalam fase penting pembentukan karakter dan masa depan.
Secara sosial, meskipun media sosial menawarkan kemudahan untuk terhubung dengan cepat, kenyataannya justru banyak orang merasa semakin terisolasi secara emosional. Interaksi langsung yang bermakna perlahan tergantikan oleh komunikasi singkat lewat emoji atau komentar singkat. Tak jarang, remaja merasa kesepian meskipun memiliki ribuan pengikut, karena relasi yang terjalin cenderung dangkal dan tidak mendalam. Akibatnya, mereka mengalami perasaan terasing dan kehilangan kemampuan sosial penting, seperti empati dan keterampilan mendengarkan dengan penuh perhatian.
Lalu, apakah kita harus berhenti menggunakan media sosial? Tentu tidak. Media sosial bukanlah musuh jika digunakan dengan bijak. Platform-platform ini tetap dapat menjadi sumber informasi, sarana komunikasi, dan wadah untuk mengekspresikan kreativitas secara positif. Kuncinya terletak pada pengelolaan penggunaan yang sehat: membatasi durasi, memilih konten yang bermanfaat, serta mengenali tanda-tanda kecanduan sejak dini.
Terapi psikologis berbasis modifikasi perilaku dan psikoedukasi terbukti efektif membantu individu mengatasi kecanduan dengan mengubah pola pikir serta memberikan alternatif strategi koping yang lebih sehat.
Sebagai penutup, ketergantungan terhadap media sosial adalah fenomena nyata yang dapat merusak kesehatan mental dan kualitas hidup, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk waspada dan bijak dalam menggunakannya. Mari mulai dengan membatasi waktu penggunaan, meningkatkan kesadaran diri akan dampaknya, dan mengedukasi lingkungan sekitar tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata.