Mohon tunggu...
shadina ningrum
shadina ningrum Mohon Tunggu... Universitas Bangka Belitung

Mahasiswa aktif Universitas Bangka Belitung yang memiliki ketertarikan dan minat yang kuat dalam dunia kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Stereotip Gen X, Milenial, dan Gen Z di Dunia Kerja Membentuk Bias Tersembunyi dalam Keputusan HR

8 September 2025   21:30 Diperbarui: 8 September 2025   20:53 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shadina Ningrum Mahasiswa Aktif Program Studi Manajemen (Sumber: Dokumen pribadi)

Dunia kerja sekarang dipenuhi oleh banyak generasi dengan ciri khas yang berbeda. Gen X (kelahiran 1965-1980), Milenial (kelahiran 1981-1996), dan Gen Z (1997-2012) hadir dengan kelebihan masing-masing. Generasi yang lebih tua biasanya punya banyak pengalaman dan kebijaksanaan, sedangkan generasi muda membawa ide-ide baru dan lebih berani mencoba hal berbeda. Seharusnya perbedaan ini bisa menjadi kekuatan bersama. Namun, yang terjadi saat ini berbanding terbalik alih-alih dianggap sebagai potensi kekuatan, banyak organisasi dan individu yang lebih sering melekatkan stereotip pada generasi tertentu secara negatif, menjadikannya label yang membatasi ruang gerak seseorang.

Sekilas memang terdengar sepele, hanya sekadar obrolan santai di kantor atau media sosial. Tapi masalah menjadi serius ketika stereotip-stereotip ini merembes masuk ke dalam keputusan manajemen sumber daya manusia (MSDM), seperti siapa yang diterima kerja, siapa yang dipromosikan, bahkan siapa yang dianggap pantas dipertahankan dalam organisasi. Contoh pertama ada pada para milenial, mereka kerap dipandang memiliki terlalu banyak peraturan dalam bekerja, sulit diajak bekerja sama, egois, dan selalu ingin menang sendiri. Label-label ini menciptakan gambaran bahwa milenial tidak bisa diandalkan sebagai tenaga kerja yang efektif.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh perusahaan sumber daya manusia terbesar di dunia, Adecco pada tahun 2020 menunjukkan 66% milenial justru terjebak dalam budaya kerja berlebihan (hustle culture), tetap bekerja meski sakit atau di luar jam kerja. Ini memperlihatkan bahwa stereotip “sulit diajak kerja sama” tidaklah tepat, karena faktanya mereka justru cenderung bekerja terlalu keras. Stigma lain bahwa milenial egois dan selalu ingin menang sendiri juga perlu dilihat secara kritis terlebih dahulu. Faktanya, banyak milenial justru sangat peduli pada dampak sosial dari pekerjaan mereka dan lebih memprioritaskan pekerjaan yang bermakna dibandingkan gaji semata.

Menurut Deloitte 2024 Gen Z & Millennial Survey menyebut bahwa 63% milenial percaya bisnis dapat memberikan pengaruh positif bagi masyarakat. Selain itu, generasi ini dikenal cukup mahir teknologi dan bisa beradaptasi, kemampuan yang sangat penting di lingkungan kerja saat ini. Contoh nyata terlihat dari banyak wirausahawan muda yang sukses memimpin perusahaan besar, serta kontribusi milenial sebagai generasi terbesar di dunia kerja yang mendorong terciptanya lingkungan kerja yang lebih baik. Menunjukkan bahwa stigma yang ada seringkali bertolak belakang dengan kenyataan yang ada.

Pada sisi lain, Gen Z mendapat stigma yang tak kalah keras. Salah satu stereotip paling sering disebutkan adalah bahwa Gen Z tidak mau atau malas bekerja. Mereka sering digambarkan sebagai generasi yang hanya ingin menikmati hiburan, menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial, atau mencari jalan pintas untuk sukses. Namun, 2024 Deloitte Survey mencatat bahwa hampir 90% Milenial dan Gen Z mengutamakan makna dan kesejahteraan daripada sekadar jabatan tinggi. Gen Z justru dikenal sebagai generasi yang kritis, progresif, dan sangat peduli pada nilai serta tujuan organisasi.

Jika mereka terlihat “tidak mau bekerja”, penyebab utamanya bukan karena malas, melainkan karena perusahaan tidak memberikan ruang untuk mengekspresikan nilai, kreativitas, atau isu yang mereka anggap penting seperti isu keberlanjutan, keadilan sosial, dan kesehatan mental. Melansir artikel Financial Times 2024 mereka mencatat 20% Milenial dan Gen Z rela meninggalkan pekerjaan hanya karena perusahaan tidak peduli terhadap isu lingkungan. Artinya, label “tidak mau bekerja” lebih mencerminkan kegagalan organisasi dalam membangun lingkungan kerja yang relevan bagi Gen Z. Maka dari itu, bisa dibilang masalahnya ada pada lingkungan kerja itu sendiri, bukan berdasarkan generasinya.

Stereotip terhadap Milenial dan Gen Z, jika dibiarkan, bisa menimbulkan bias serius dalam keputusan HR. Bayangkan seorang kandidat milenial yang memiliki kompetensi kuat tapi tersingkir dari proses rekrutmen hanya karena generasi mereka dilihat “egois”  dan “ingin menang sendiri” Atau seorang karyawan Gen Z yang performanya bagus dan selalu konsisten, tapi kehilangan kesempatan mendapatkan promosi karena generasinya dicap tidak loyal atau kurang mau bekerja keras. Bias seperti ini membuat organisasi kehilangan atau melewatkan talenta berbakat secara percuma. Selain itu, menimbulkan budaya kerja yang tidak adil dan diskriminatif, dimana potensi sejati seseorang tertutup hanya karena stigma negatif yang belum tentu benar.

Jika dibandingkan dengan Gen X, stereotip yang menempel juga tak kalah problematik. Mereka sering dicap kaku, konservatif, dan gagap teknologi. Berdasarkan penelitian dari Universitas Bina Darma (2020) terkait dengan perilaku Gen X dan Milenial di Sosial Media, Gen X merupakan kelompok dengan pertumbuhan tertinggi dalam penggunaan internet dan media sosial. Artinya, mereka mungkin membutuhkan waktu lebih banyak untuk beradaptasi, tetapi bukan berarti tidak mampu. Stigma yang melekat pada mereka sering mengabaikan kenyataan bahwa mereka memiliki pengalaman panjang yang menjadi fondasi penting dalam pengambilan keputusan strategis.

Sebenarnya, stereotip generasi tidak pernah benar-benar berdiri sendiri. Ia bekerja secara diam-diam, membentuk bias tersembunyi dalam proses HR yang sering kali tidak disadari. Business Insider (2024) melaporkan survei dari Resume Builder bahwa 36% manajer HR mengaku memiliki bias terhadap Gen Z, dan 34% terhadap pelamar berusia 60 tahun atau lebih, karena stereotip seperti kurang pengalaman atau dianggap tidak produktif. Padahal, evaluasi objektif atas kinerja menunjukkan mereka memiliki performa setara, bahkan dalam beberapa kasus lebih unggul. Bias seperti ini muncul bukan karena kemampuan yang kurang, melainkan karena asumsi generasional yang melekat.

Hal serupa juga terlihat dalam penelitian Axelrad et al. (2024) yang menunjukkan bahwa hampir setengah dari manajer masih memegang stereotip campuran (positif maupun negatif) terhadap pekerja senior, sementara 25% lainnya memiliki stereotip sepenuhnya negatif. Stereotip ini kemudian memengaruhi keputusan HR, termasuk kecenderungan memilih kandidat dari generasi lebih senior untuk posisi manajerial karena dianggap lebih “stabil” dan “bertanggung jawab.” Akibatnya, banyak Millennial atau Gen Z yang sebenarnya punya potensi kepemimpinan kuat justru dilewati hanya karena label generasi yang menempel. Ini membuktikan bahwa stereotip seperti “Gen Z tidak loyal” atau “Milenial egois” bisa membuat proses rekrutmen dan promosi kehilangan objektivitasnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun